Selasa, 08 November 2011

Reformasi Indonesia

REFLEKSI ATAS REFORMASI INDONESIA
Oleh: Rizal Mustansyir

A.  PENDAHULUAN

Perubahan merupakan suatu dinamika dalam kehidupan manusia, bahkan berlaku pula bagi seluruh mahluk di alam semesta ini. Tetapi tidak semua perubahan mesti menimbulkan dampak positif bagi setiap mahluk. Seekor ikan tidak memerlukan perubahan dari sirip menjadi sayap, karena air adalah habitatnya yang lebih memerlukan sirip ketimbang sayap. Demikian pula halnya dengan burung yang tidak membutuhkan perubahan dari sayap menjadi sirip, karena ia lebih banyak hidup di darat dan udara yang memerlukan dukungan kepak sayap ketimbang gerakan sirip. Namun manusia lebih membutuhkan perubahan dibanding mahluk hidup lainnya, karena dunianya lebih terbuka (Weltoven), di samping itu rasionalitas yang dimilikinya juga menuntut pemuasan atas rasa ingin tahu (curiosity). Di saat terjadi akumulasi persoalan yang mengendap dalam dirinya, maka di saat itu pula manusia mencetuskan gagasan baru bagi munculnya perubahan.
Manusia dalam kehidupan kelompok, klan, suku bangsa, bangsa mempunyai tuntutan dan kebutuhan yang lebih kompleks, sehingga perubahan merupakan salah satu indikator penting untuk memahami gerak maju budaya suatu kelompok. Ketika anggota kelompok memiliki gagasan, maka komunitas mencoba untuk mengakomodir gagasan tersebut atas nama kepentingan bersama, meskipun belum tentu gagasan tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan. Namun paling tidak terjadi pertukaran ide (sharing) dalam kelompok yang mampu melahirkan perubahan, entah cepat atau lambat.
Reformasi merupakan bentuk perubahan yang dianggap dapat membawa semangat pembaharuan dalam kehidupan suatu kelompok atau bangsa. Meskipun perubahan itu sebuah keniscayaan, namun perubahan ke arah perbaikan nasib memerlukan perencanaan dan pengawalan dari berbagai pihak. Semangat pembaharuan yang tidak diiringi kontrol dan tekad yang kuat dapat menjadikan reformasi itu kehilangan arah.
 Bagaimana bentuk reformasi yang terjadi di Indonesia pasca keruntuhan rejim Orde Baru? Apakah refeormasi itu sudah sesuai dengan aspirasi rakyat Indonesia? Ataukah reformasi yang telah berlangsung selama 12 tahun ini telah kehilangan rohnya? Apakah roh atau semangat atau janji reformasi itu sesungguhnya? Hal inilah yang coba di ulas dalam tulisan berikut ini.

B.  PEMBAHASAN

1.      Pengertian Reformasi
Istilah Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya mengacu kepada gerakan mahasiswa yang terjadi pada tahun 1998 dalam rangka menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll. Mochtar Pabottinggi dalam salah satu artikelnya “Politik Menyantuni Pluralitas” dalam Indonesia Abad XXI (2000: 99) menilai bahwa reformasi yang terjadi pada jaman Orde Baru itu merupakan sebuah reformasi konyol, karena Soeharto membukakan pintu reformasi pada saat yang terburuk bagi reformasi itu, ketika pemerintahan benar-benar tak mungkin dijalankan lantaran kebangkrutan multidimensi. Ia menengarai bahwa Soeharto menyadari urgensi reformasi, namun malah menyia-nyiakan semua peluang emas itu, menunda hingga saat celaka di mana Soeharto tak sanggup bertindak lain dari tinggal glanggang colong playu.
Satu hal penting dalam pengertian reformasi di atas, yaitu perubahan atas sistem yang sudah ada, artinya reformasi itu tidak pernah mulai dari titik nol. Reformasi lebih merupakan sebuah reaksi atas ketidakmampuan sistem yang berlaku. Reformasi itu menghendaki perubahan dari suatu kondisi ke arah kondisi yang lebih baik. Reformasi adalah sinyal bagi masyarakat bahwa penyelamatan itu diperlukan agar tidak terjadi catastrophe.  Berdyaev, seorang filsuf eksistensialis asal Rusia mencontohkan hancurnya peradaban suatu bangsa akibat perang, bencana, termasuk berbagai krisis lain yang melanda. Contohnya Empirium Romawi. Toynbee yang mempelajari sejarah peradaban bangsa-bangsa menengarai bahwa kehancuran peradaban suatu bangsa lebih disebabkan kelompok minoritas, penguasa, tidak memiliki kemampuan untuk merespons tantangan yang timbul (Response and Challenge), sehingga suatu bangsa dapat menjadi punah. Contoh bangsa Indian Aztex di Meksiko yang memiliki benteng pertahanan yang kuat pada masa itu punah hanya dalam tempo beberapa  hari oleh pendatang dari Portugis yang  membunuhi pemimpin-pemimpin Aztex tersebut.
Reformasi dapat dikatakan sebagai titik balik peradaban untuk menghindari terjadinya catastrophe, ketika sebuah bangsa dilanda multikrisis, maka diperlukan suatu upaya perubahan yang tidak hanya sepotong-sepotong, tetapi sistemik dan holistik. Reformasi yang dilakukan disini bukanlah sebuah keterpaksaan, melainkan sebagai sebuah keniscayaan. Sebab reformasi yang dilakukan lantaran ada unsur keterpaksaan, akan menyimpan persoalan lanjutan, yang mungkin sementara waktu ditunda demi penyelamatan sesaat. Reformasi baru dapat dikatakan berhasil manakala semua pihak yang terlibat memiliki kesadaran penuh untuk menyelamatkan bahtera kehidupan bersama sebagai suatu komunitas atau bangsa. Namun itu tidak berarti sebuah reformasi pasti berjalan mulus tanpa halangan sesuatu, sangat dimungkinkan ada pihak tertentu yang dikorbankan untuk kepentingan pihak lain. Contoh reformasi Indonesia 1998 jelas menunjukkan hal tersebut, di saat Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil presiden didaulat untuk menggantikan kedudukan Presiden. Namun salah satu akibat yang paling dirasakan ialah lemahnya hukum ketika ada upaya untuk menyelidiki harta kekayaan mantan penguasa Orde Baru. Habibie tidak punya nyali untuk menjadikan mantan atasannya itu sebagai pesakitan dalam kasus korupsi. Atau mungkin sebelumnya  memang terjadi deal politik untuk tidak mengusut dosa-dosa politik penguasa Orde Baru.
2.      Janji Reformasi
Setiap reformasi menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik, itu pasti secara Das Sollen. Namun dalam kenyataannya (Das Sein) mewujudkan janji reformasi itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya merealisasikan janji reformasi. Pertama, lemahnya perangkat hukum yang ada, sehingga cita-cita yang dicetuskan semula mengalami penggembosan, sirna ditelan waktu. Kasus korupsi mantan penguasa Orde Baru membuktikan hal tersebut, di mana sistem hukum di Indonesia menjadi mandul. Aparat hukum tidak pernah mampu membuktikan dosa-dosa penguasa Orde Baru, lantaran pembuktian terbalik dalam kasus korupsi rontok begitu saja ketika dihadapkan pada pernyataan Soeharto bahwa ia tidak punya simpanan sepeser pun. Kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan ternyata hanya puncak gunung es, karena kasus penggelapan pajak lainnya terus bermunculan, sehingga terlihat adanya indikasi kuat adanya mafia pajak sistematis, sebagaimana yang ditengara Menkeu Sri Mulyani Indrawati.  Kedua, amnesia alias penyakit pelupa yang banyak menghinggapi masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia diminta untuk menjadi bangsa yang besar dengan menelan mentah-mentah peribahasa mikul nduwur mendhem jero, menghormati pendahulu dan tidak mencari-cari kesalahannya. Masyarakat Indonesia lupa dengan berbagai kasus korupsi yang terjadi pada era Orde baru seperti: kasus Bulog Kal-Tim  yang melibatkan Budiaji, dan berbagai kasus penindasan politik seperti yang dialami A.M.Fatwa, dan sebagainya. Ketiga, kebebasan semu (pseudo-freedom) yang menyertai kelahiran sebuah reformasi sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia dewasa ini. Setiap kali kita menyaksikan perdebatan anggota DPR di televisi, kita merasa miris dengan obral pernyataan, baik yang terang-terangan maupun pernyataan vulgar yang dilontarkan tanpa memikirkan akibat yang muncul di masyarakat. Kata-kata ”bangsat”, heeh”, “kau”, “sabar dulu Daeng”, dan seterusnya merupakan bentuk kebebasan semu yang membuat bingung masyarakat awam. Kebebasan semu ini benar-benar bertolak belakang dengan gaya ungkapan  eufemisme politik di jaman Orde Baru, dimana istilah tertentu diperhalus, dimanipulasi agar masyarakat terkecoh seperti: “ditangkap” menjadi “diamankan”,  “kenaikan harga” menjadi “penyesuaian harga”, dan seterusnya. Keempat, politik versus hukum menempati ruang perdebatan di berbagai media informasi dan komunikasi, sehingga masyarakat sulit membedakan mana kasus politik mana kasus hukum. Sebagai contoh: kasus bank Century sulit dipilah antara masalah politik dan masalah hukum. Keduanya hadir dalam ruang publik tanpa mengindahkan aturan main (rule of the games) yang tegas dan jelas.
3.      Reformasi Tanpa Bentuk
Amorphous yang berarti tidak mempunyai bentuk yang tetap, bahkan tidak terorganisasi merupakan salah satu karakteristik reformasi dewasa ini. Sebuah bentuk yang tetap tentunya bertitik tolak dari sebuah perencanaan yang jelas, ada visi dari sebuah perjalanan yang direncanakan. Namun sejak awal reformasi bergulir di Indonesia, kita belum melihat perencanaan yang matang dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sandiwara politik yang muncul di panggung kekuasaan mempertontonkan perebutan kursi kekuasaan dengan berbagai cara, mulai dari politik dagang sapi sampai ke bentuk yang paling vulgar yaitu menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara yang tidak elegan. Kasus perseteruan Susno Duaji dengan KPK, yang semula menempatkan Susno sebagai pecundang (kasus cicak versus buaya), dalam tempo singkat berubah menempatkan Susno sebagai pahlawan ketika ia membuka kasus penyuapan pajak di tubuh Polri. Kesemuanya itu merupakan indikasi adanya ketidakberesan penanganan hukum, sekaligus menciptakan imej bahwa politik masih mendominasi hukum. Dalam salah satu dialog  di stasiun televisi beberapa waktu yang lalu, seorang pengamat politik, Yudi Latif, melontarkan ucapan “adanya kriminalisasi politik dan politisasi kriminal”. Kriminalisasi politik dimaksudkan bidang politik menjadi sarana untuk melakukan berbagai perilaku kriminal seperti; kasus penyuapan terhadap anggota DPR. Sedangkan politisasi kriminal lebih menempatkan persoalan-persoalan kriminal (seperti: kasus Anggodo) dimuati unsur-unsur politik, sehingga persoalan yang seharusnya terletak di ranah hukum bergeser ke ranah politik. 
Tidak ada masyarakat Indonesia yang tahu pasti siapa yang benar, siapa yang salah. Inilah salah satu bentuk reformasi tanpa bentuk, kelihatannya memang terjadi perubahan dalam kehidupan hukum dan politik di Indonesia, tetapi kita tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di balik sandiwara politik itu tadi. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai penonton politik, bukan pemain, paling banter dihibur dengan dialog interaktif yang ditayangkan beberapa stasiun televisi seperti: Metro, ANTV, TVONE, dan lain-lain. Namun rakyat kecil tidak punya peluang untuk naik ke panggung sandiwara politik.
Reformasi tanpa bentuk itu terjadi karena beberapa faktor sebagai berikut. Pertama, tidak adanya perencanaan yang matang dalam perubahan yang muncul, lantaran perubahan lebih dimaksudkan sebagai reaksi spontan atas sistem pemerintahan yang dianggap gagal. Reformasi yang muncul pada tahun 1998 di Indonesia lebih bersifat spontan, meskipun menghasilkan pahlawan-pahlawan reformasi seperti: Amien Rais, Megawati, Abdurrahman Wahid, dan Hamengku Buwono X. Namun tidak ada kesepakatan yang kuat diantara keempat tokoh reformasi tersebut, bahkan yang terjadi adalah perebutan kekuasaan di antara mereka. Komitmen kuat yang ada pada waktu itu hanyalah menempatkan posisi mereka berseberangan dengan penguasa Orde Baru, selain komitmen itu belum ada gambaran jelas apa yang hendak mereka perjuangkan. Dua diantara keempat reformist itu, Abdurrahman Wahid dan Megawati memang berhasil menjadi presiden RI sesaat, sedangkan dua lainnya gagal dalam pilpres dan pencalonan. Mereka lebih dipersatukan hanya oleh satu kepentingan bersama, yaitu mengenyahkan Soeharto dari panggung kekuasaan.
Kedua, reformasi tidak melibatkan kepentingan rakyat, tetapi lebih cenderung mengatasnamakan rakyat. Padahal keberhasilan sebuah reformasi justeru apabila didukung oleh rakyat. Namun kemiskinan, pengangguran tetap tinggi, rakyat mulai menyadari bahwa mereka hanya dijadikan sasaran antara untuk menduduki jabatan kekuasaan. Reformasi yang tidak didukung oleh rakyat adalah reformasi tanpa bentuk, karena hanya bersifat sepihak. Rakyat mengalami pembiaran, sehingga mereka menjadi apatis terhadap reformasi yang terjadi. Memang ada kelompok rakyat yang diuntungkan oleh gelombang reformasi, tetapi lebih bersifat sesaat. Misalnya: Pilkada yang mengatasnamakan reformasi dan otonomi daerah itu hanya dinikmati sekelompok kecil masyarakat yang terlibat secara aktif sebagai pendukung pihak tertentu yang kebetulan menang dalam pemilihan. Namun nasib rakyat secara keseluruhan belum mengalami perubahan menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Ketiga, reformasi tidak didasarkan atas aturan main yang jelas, terutama dalam bidang politik dan hukum. Aturan main dalam bidang politik diperlukan untuk mengatur mekanisme berdirinya partai politik yang semakin menjamur walaupun tanpa fatsun politik yang jelas. Aturan main dalam bidang hukum terkait dengan peraturan perundang-undangan  tentang sanksi yang jelas dan tegas terhadap penyelewengan dana kampanye, dan lain sebagainya. Hukum masih dipahami dalam tatanan Quid Iuris (apakah hukum itu), bukan Quid Ius (apakah keadilan itu). Kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh para penegak hukum seperti: hakim, jaksa, dan polisi sedemikian menjamur. Mahkamah Agung, khususnya Komisi Yudisial yang berfungsi untuk mengontrol perilaku hakim kebanjiran kasus abuse of power sehingga kewalahan.
Keempat, reformasi berjalan sekehendak hati, terutama terkait dengan kebebasan pers dan informasi. Kebebasan yang berlebihan beresiko maraknya pemberitaan dan informasi yang tidak lagi berorientasi pada objektivitas dan tanggungjawab, melainkan lebih mengedepankan pada jor-joran berita dan informasi. Berita dan gosip, informasi dan fitnah menjadi sulit dibedakan, sehingga terjadi kesimpangsiuran. Media cetak dan elektronik lebih berorientasi pada idola pasar (Francis Bacon menyebutnya dengan istilah Market idols/idola fori) yang acapkali menimbulkan kesalahpaman komunikasi. Meskipun harus diakui ada media yang tetap berusaha bersikap netral dan objektif dalam pemberitaan.
4.      Pengawal Reformasi
Siapa pihak yang harus bertanggungjawab terhadap jalannya reformasi? Ini pertanyaan yang acapkali muncul manakala terjadi perubahan dalam kehidupan bernegara. Pemerintah selalu dituding sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas jalannya reformasi, padahal pemerintah berada dalam posisi pelaku yang sulit untuk menilai dirinya sendiri. Oleh karena itu paling tidak ada tiga pihak yang dapat menjalankan peran sebagai pengawal reformasi itu. Pertama, masyarakat luas pada umumnya, karena mereka berada pada posisi penonton. Ibarat permainan catur, penonton acapkali lebih jeli melihat kesalahan yang dilakukan para pemain catur ketika keduanya membuat langkah dalam permainan tersebut.  Memang ada anggota masyarakat tertentu yang berpeluang menjadi pelaku sejarah terjadinya perubahan, namun ketika titik perubahan itu diambil alih oleh pemerintah, maka peran anggota masyarakat itu dianggap selesai. Pada gilirannya muncul ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang berbuah demonstrasi, kerusuhan atau amuk massa, anarkhis. Masyarakat dapat menjadi kekuatan luar biasa (people power) ketika terjadinya sebuah perubahan yang mendesak dan memang dikehendaki. Hal ini pula yang terjadi pada 19 dan 20 Mei 1998 di saat terjadinya gelombang protes massa di berbagai penjuru tanah air yang menghendaku Soeharto turun dari jabatan kepresidenan. Kedua, elit perguruan tinggi yang mengedepankan idealisme di balik reformasi yang terjadi. Di era 1965 ketika kekuasaan Orde Lama runtuh, mahasiswa UI dan elemen perguruan tinggi lainnya berperan sangat dominan dalam mendongkel kekuasaan Soekarno. Reformasi 1998 pun di awali oleh gerakan mahasiswa, mulai dari kasus Trisakti, Semanggi, yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang berhasil melengserkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Ketiga, media cetak dan elektronik yang mampu memberikan akses informasi kepada masyarakat secara cepat dan objektif. Rekaman video yang dilakukan wartawan Metro di Bandara Soekarno-Hatta ketika terjadinya penangkapan terhadap Susno Duaji beberapa waktu yang lalu membuktikan betapa pers memiliki kekuatan sebagai pengawal reformasi yang luar biasa. Setiap sudut ruang publik merupakan sasaran kamera yang dapat diangkat sebagai objek pemberitaan oleh berbagai media yang tumbuh menjamur di Indonesia. Media merupakan pengawal reformasi yang paling ampuh dan efektif, namun dapat pula menjadi wahana untuk melegitimasikan kekuasaan partai politik tertentu.
5.      Reformasi dan Ideologi Bangsa
Ada hal yang cukup mengkhawatirkan sejak terjadinya reformasi di Indonesia Mei 1998, yaitu meredupnya semangat ideologi bangsa, Pancasila. Bahkan ada kecenderungan tokoh-tokoh bangsa enggan disebut Pancasilais, karena takut dikait-kaitkan dengan rejim Orde Baru yang rajin menggunakan Pancasila sebagai alat untuk membenarkan jargon-jargon politik mereka. Adakah yang salah dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia? Jawaban yang muncul bisa bersifat mendua, di satu pihak ideologi itu bukan milik kelompok tertentu, melainkan milik seluruh komponen bangsa; di pihak lain ideologi dapat dipergunakan sebagai alat pelanggeng kekuasaan. Contoh paling jelas adalah ideologi komunis yang dipergunakan sebagai alat kekuasaan para penguasa di Unisoviet dan di Cina pada jaman Stalin dan Mao Ze Dong. Namun kasus di Indonesia jelas berbeda, karena ideologi Pancasila merupakan pilihan sadar para pendiri negara ketika mereka mendiskusikan berdirinya negara Republik Indonesia ini. Sebuah negara yang tidak memiliki fondasi yang kuat, yakni ideologi, akan mudah diombang-ambingkan oleh ideologi asing, sekaligus reformasi yang berlangsung akan berjalan tanpa tuntunan yang jelas. Inilah sebabnya penting bagi bangsa ini untuk meluruskan jalannya reformasi dengan kawalan ideologi Pancasila melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, perlunya koreksi terhadap monotafsir ideologi Pancasila yang pernah dilakukan rejim Orde Baru agar jangan sampai terjebak ke dalam truth-claim sepihak. Bahaya yang ditimbulkan oleh klaim kebenaran sepihak dari penguasa ini ialah menjadikan pihak lain yang memiliki tafsir dan pandangan berbeda tentang ideologi itu sebagai musuh. Akibatnya komponen bangsa ini terbelah ke dalam berbagai kelompok yang saling curiga dan hasrat untuk saling memojokkan pihak lain. Kedua,  Pancasila perlu didudukkan sebagai milik bangsa, bukan hanya milik penguasa. Karena, baik secara historis maupun secara yuridis, ideologi bangsa itu memang milik bersama yang harus mampu mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Belum semua cita-cita bangsa dapat dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi pertumbuhan suatu bangsa yang relatif masih muda (65 tahun), maka hasil yang dicapai dewasa ini tidak terlalu buruk, meskipun belum dapat dikatakan baik. Cita-cita yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 seperti: memajukan kesejahteraan umum (ekonomi), mencerdaskan kehidupan bangsa (pendidikan), dan melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia (pertahanan & keamanan) masih dihadapkan pada berbagai tantangan.
Tantangan dalam bidang ekonomi meliputi antara lain; masih tingginya tingkat pengangguran, besarnya utang luar negeri, belum meratanya penghasilan warga masyarakat, kuatnya pengaruh kapitalisme (berdirinya mall-mall yang menggeser pasar-pasar tradisonal). Beberapa komoditas yang dihasilkan rakyat kecil mulai tumbuh dan berkembang seperti: batik, kerajinan tangan, garmen, namun belum mampu bersaing dengan pemodal-pemodal besar.
Bidang pendidikan mengalami kemajuan yang cukup pesat, namun pada tingkat pendidikan tinggi (universitas) hanya dapat dijangkau oleh sebagian kecil anggota masyarakat yang kebanyakan kelompok menengah keatas. Pendidikan masih memihak kepada kelompok elit masyarakat, terutama di perkotaan. Fasilitas pendidikan di pedesaan umumnya memprihatinkan, karena jauh dari akses pusat kekuasaan.
Bidang pertahanan keamanan Indonesia jauh tertinggal di bandingkan dengan Negara tetangga, Malaysia, Singapura, bahkan dengan Vietnam. Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang dimiliki TNI dan Polri kebanyakan sudah berusia tua, sehingga sering terjadi kecelakaan pesawat terbang milik TNI dan Polri yang merisaukan masyarakat. Belum lagi dihadapkan pada ancaman Negara tetangga yang mengklaim pula-pulau terluar Indonesia seperti Ambalat, Indonesia seakan tidak berdaya (powerless) karena kekurangan fasilitas pendukung yang memadai untuk mempertahankan wilayah Indonesia dari agresi pihak luar. Bahkan untuk mempertahankan kedaulatan wilayah dari para penjarah kekayaan laut Indonesia saja, bangsa kita kewalahan karena minimnya fasilitas pendukung seperti kapal patroli yang dapat bergerak cepat.
Kendatipun demikian semangat untuk mempertahankan tanah air dari ancaman pihak luar patut diacungi jempol, meskipun semangat saja belum cukup, karena harus didukung pula sistem persenjataan yang canggih. Dalam hal ini adagium yang dilontarkan Thomas Hobbes masih relevan, yaitu Bellum pacis patter (Perang bapak perdamaian), dan Si Vis Pacem para bellum ( Jika ingin perdamaian siapkan perang).

6.      Reformasi yang Melahirkan Kecemasan
Kecemasan (Anxiety) merupakan gejala yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebuah kecemasan biasanya terkait dengan masa depan yang tidak jelas. Dalam bentuk pertanyaan yang sederhana, masyarakat bergumam: “Mau dikemanakan bangsa Indonesia ini di masa depan?”.  Kecemasan akan masa depan bangsa Indonesia ini ditimbulkan oleh beberapa faktor. Pertama, ketidakpercayaan, keraguan atau kesangsian (distrust) terhadap tindakan penguasa, elit politik, dan aparat hukum merupakan sindrom yang paling kuat dewasa ini. Sikap SBY yang kurang tegas terhadap beberapa kasus pelanggaran hukum yang melibatkan orang-orang terdekatnya seperti: Boediono, Sri Mulyani menambah keraguan masyarakat akan terselesaikannya kasus Bank Century secara hukum. Kedua, pesimistik yang melanda sebagian besar masyarakat atas berbagai persoalan bangsa, mulai dari berbagai fenomena kekerasan (contoh kasus tragedi berdarah Mbah Priok) hingga rasa keadilan yang terusik karena kasusnya tidak kunjung usai (seperti kasus penyuapan Anggodo yang dibuka rekamannya oleh Mahkamah Konstitusi tetapi tetap tak terjangkau oleh hukum). Pesimis adalah lawan kata dari optimis. Optimis berarti yakin terhadap masa depan yang lebih baik, sedangkan pesimis mengandung arti ketidakyakinan atas masa depan yang lebih baik. Berbagai krisis yang bermunculan di bidang hukum, politik, ekonomi, dan sosial tidak memberikan jaminan kepastian bagi masyarakat atas sistem penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini. Menyitir pandangan Arthur Schopenhauer, seorang filsuf Jerman abad kesembilanbelas yang mengatakan bahwa kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menjadikan kehidupan individu merupakan serangkaian tragedi tanpa makna. Kiranya ungkapan Schopenhauer menggambarkan fenomena yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini. Masyarakat tidak lagi memiliki keyakinan akan perubahan ke arah perbaikan di masa depan, lantaran situasi dan gerak reformasi tidak mengarah kesana.  Ketiga, sikap apatis yang menghinggapi sebagian masyarakat terlihat dari ketidakpedulian mereka terhadap pemilihan kepala daerah, sehingga di beberapa daerah golongan putih malah menjadi pemenang. Ada kelompok masyarakat yang tidak mau ambil pusing dengan “pesta demokrasi”, yang bagi mereka tidak mendatangkan perbaikan apa pun dalam kehidupan mereka. Begitu pemilihan kepala daerah selesai, mereka kembali kepada rutinitas biasa, petani kembali ke sawah, pedagang kembali ke pasar, pegawai kembali kantor, dan seterusnya. Tidak ada sesuatu yang berubah, pesta demokrasi itu mirip pesta perhelatan perkawinan di desa-desa mereka, mereka tidak menikmati apa-apa, kecuali lelah dan sedikit hiburan artis, kaos, makanan, dan perlengkapan kampanye lainnya, begitu pesta usai mereka hanya kebagian tugas bersih-bersih dengan upah ala kadarnya. 

C.  KESIMPULAN

Reformasi di Indonesia yang sudah berjalan selama 12 tahun kalau dihitung sejak Mei 1998 adalah sebuah perjalanan cukup panjang yang menyisakan beberapa catatan penting.
Pertama, pergantian pemimpin setelah Soeharto, sejak Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono periode pertama dan masuk ke periode kedua belum menampakkan perubahan yang substansial. Dalam arti tingkat kesejahteraan masyarakat belum meningkat secara signifikan. Bahkan ada fenomena yang menggiriskan di sebagian masyarakat pedesaan (contohnya: di Subang) yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan dasar berupa beras, sehingga mereka mengonsumsi nasi aking. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai perusahaan meningkatkan jumlah pengangguran yang pada gilirannya menjadi pemicu meningkatnya tindak kejahatan, pelayanan kesehatan optimal yang belum menjangkau masyarakat awam.   
Kedua, memang ada beberapa hal yang menggembirakan terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi, namun masih terbentur pada sanksi yang belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi. Fenomena korupsi belakangan ini mulai terbuka, tetapi ruang dalam masih menyimpan banyak “misteri kegelapan”. Contoh: kasus penyuapan Bibit-Chandra dari KPK, kasus Bank Century yang melibatkan Boediono dan Sri Mulyani, kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan yang melibatkan pejabat di tubuh Polri, dan lain sebagainya.
Ketiga, kasus pembunuhan berencana yang dituduhkan terhadap ketua KPK Antasari Azhar sampai sekarang masih diliputi misteri dan belum ada kepastian hukum yang jelas. Gelombang kasus yang datang silih berganti menyebabkan masyarakat tidak paham apakah ada rangkaian antara kasus yang satu dengan yang lain, ataukah memang merupakan hal yang terpisah. Ataukah memang ada skenario untuk menghapus jejak kasus yang satu dengan memunculkan kasus yang lain.
Keempat,  sebuah reformasi pada akhirnya memang menuntut perubahan, namun bukan perubahan yang membingungkan, tanpa rencana, dan tanpa bentuk. Reformasi di Indonesia membutuhkan perencanaan dan pengawalan yang dilakukan terus menerus, sehingga tidak kehilangan rohnya, yaitu membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Dalam hal ini peran media cetak dan elektronik sangatlah penting, sejauh mereka mampu bersifat netral, objektif, dan bertanggungjawab.
Kelima,  reformasi di Indonesia seyogyanya memiliki warna ideologis yang jelas agar tidak dilibas oleh ideologi-ideologi asing yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Ideologi bangsa Pancasila dibutuhkan untuk mengawal reformasi ke jalan yang sesuai dengan aspirasi rakyat, sejauh tidak dipolitisasi dan dijadikan alat pembenaran tindakan para reformist. Ideologi Machiavelisme, yakni tujuan menghalalkan segala cara tampaknya perlu diwaspadai, karena sudah mulai muncul sebagai gejala umum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar