Selasa, 08 November 2011

Metode Interdisipliner

MODEL INTERDISPLINER DALAM PENELITAN
ILMU FILSAFAT
Oleh:
Rizal Mustansyir
A.    Pendahuluan
Penelitian merupakan salah satu aktivitas ilmiah yang sangat penting di dalam duniah ilmiah. Penelitian bahkan merupakan salah satu pilar utama dari Tri Dharma Perguruan Tinggi di samping pengajaran dan pengabdian pada masyarakat. Penelitian merupakan cerminan kepedulian dan rasa ingin tahu (curiosity) komunitas ilmiah terhadap berbagai permasalahan dan fenomena yang dihadapi dalam kehidupan ilmiah. Setiap ilmuwan dituntut untuk mengembangkan studi, karya, dan penelitian ilmiah yang dalam kategori epistemologis Popperian termasuk ke dalam Dunia Tiga, yakni ranah atau medan pergulatan pemikiran para ilmuwan yang berisikan berbagai hipotesis, dalil, teori dan paradigma ilmiah.(Rizal Mustansyir, 2001:  153).
Penelitian ilmiah merupakan cara kerja yang harus mengikuti pedoman kerja sebagai berikut: bekerja dengan jujur; jangan menukangi (mengeksploitasi, Pen.) data; selalu bertindak tepat, teliti, dan cermat; berlaku adil terhadap pendapat ahli yang muncul terlebih dahulu; menjauhi pandangan yang bias terhadap data dan pemikiran ilmuwan terdahulu; tidak berkompromi dalam menyelesaikan masalah namun mengusahakan penyelesaian masalah secara tuntas. (Nasoetion, 1989: 29).
Habermas, menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan. (1971:313). Penelitian ilmu filsafat dalam kategori Habermas (Ignas Kleden, 1987: 33-34; ) termasuk ke dalam kelompok ilmu historis-hermeneutis yang memperlihatkan ciri-ciri berikut. Pertama,  jalan untuk mendekati kenyataan bukanlah melalui observasi, melainkan melalui pemahaman arti atau makna suatu objek. Kedua, ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut bukan melulu dilaksanakan melalui tes yang direncanakan, melainkan via interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedangkan interpretasi yang keliru akan mendatangkan sanksi berupa kesalahpahaman. Ketiga, suatu pemahaman hermeneutis selalu merupakan bentuk pemahaman berdasarkan pra-pengertian. Pemahaman atas orang lain baru akan tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Dengan demikian pemahaman berarti menciptakan komunikasi antar kedua situasi tersebut. Keempat, Komunikasi tersebut akan semakin intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang hendak memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri. Kelima, kepentingan yang ada di sini ialah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang berlandaskan pada norma konsensus mengenai tingkah laku yang diakui dan diterima. Keenam, kekuatan norma sosial  didasarkan pada saling pengertian  tentang maksud pihak yang terlibat dalam komunikasi , yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati.  Keenam hal ini justeru diperlukan dalam model penelitian interdisipliner, karena jalinan komunikasi antar ilmuwan yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda namun mempunyai konsensus yang sama untuk menghadapi masalah secara bersama.
Membangun model penelitian interdisipliner membutuhkan prasyarat tertentu yang meliputi antara lain: Pertama, ada masalah tertentu yang dipandang perlu diselesaikan secara bersama. Artinya dimungkinkan terjadinya kerjasama antar disiplin ilmu, antar peneliti, dan antar metode. Ketiga bentuk kerjasama ini punya tujuan yang sama, tetapi polanya bisa berbeda-beda.
Kedua, sentral pemikiran tetap terfokus pada nilai (value) yang terkait dengan manusia (antroposentris), Tuhan (Theosentris), dan alam (kosmosentris) kalau peneiliti ini mau dikatakan bersifat filosofis. Mukti Ali menjelaskan bahwa soal tata nilai merupakan hal yang amat asasi bagi suatu masyarakat, karena menyangkut makna dan dimensi kedalaman kehidupan manusia. Dalam tata nilai terkandung cita maknawi yang menjadi tujuan dan pedoman manusia dalam berbuat dan melakukan suatu perbuatan. Tata nilai juga mendasari alam pikiran dan tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat dalam memahami, menafsirkan, dan menghayati dunia dan lingkungannya. (1981: 321-322).
 Ketiga, metode yang dipergunakan harus disepakati terlebih dahulu, namun tetap membutuhkan interpretasi untuk membangun semangat komunikasi di antara pihak peneliti yang terlibat. Interpretasi yang dimaksud di sini bukan semata-mata penafsiran yang bersifat sepihak, namun ada nuansa intersubjektif.
Keempat, langkah-langkah metodis yang ditempuh (induksi, deduksi, abduksi, sintesis, analisis, komparasi, heuristika, interpretasi, refleksi) senantiasa ditempatkan sebagai pisau analisis yang bersifat proporsional. Artinya komponen-komponen tersebut hadir dan mengalir di seluruh semangat penelitian, tanpa mengabaikan aturan main yang khas dalam model penelitian  ilmiah yang dipilih pihak peneliti.
Toety Herati menegaskan bahwa penelitian ilmiah tidak bisa dilepaskan dari masalah metodologis. Metodologi merupakan bidang yang mengkhususkan pada bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan  dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai perpaduan  sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48).
Menarik untuk dicermati usaha yang dilakukan oleh Chalmers (1983) dalam karyanya What is this thing is called Science? Penelusurannya tentang Sejarah Filsafat Ilmu menunjukkan bahwa metode induksi yang selama ini didewa-dewakan dalam panggung dunia ilmiah ternyata mengandung berbagai kelemahan yang perlu dikoreksi secara metodologis. Dalam karyanya itu ia mengetengahkan falsifikasionisme Popper, Program Riset Ilmiah dari Lakatos, Revolusi ilmu Thomas Kuhn, dan gagasan anti metodologi (anarchistik) dari Feyerabend. Oleh karena itu penelitian interdisipliner dalam filsafat perlu mempertimbangkan paradigma Popper, Lakatos, Kuhn, dan Feyerabend untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Filsafat merupakan salah satu bidang ilmu yang paling berpeluang untuk menjalin kerja sama dengan disiplin ilmu lain, meskipun julukan Mother of Science hanya tinggal dalam museum sejarah ilmu. Hal ini dimungkinkan lantaran seluruh objek ilmu pengetahuan dapat disentuh dan ditelusuri nilai-nilai filosofisnya. Meskipun ilmu pengetahuan dewasa ini sangat luas dan mendalam, namun menurut The Liang Gie (1998: 21-22) berdasarkan 6 pokok soal yang menjadi sasarannya, ilmu dapat dibedakan menjadi 6 rumpun ilmu, yaitu: Ilmu Pengetahuan Pasti, Ilmu Pengetahuan Kebendaan, Ilmu Pengetahuan Hayati, Ilmu Pengetahuan Kejiwaan, Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Ilmu pengetahuan Kebahasaan. Masih ditambah satu yakni Ilmu Pengetahuan Antar Bidang yang mempunyai 4 corak perwujudannya, yakni: Interdisciplinary, multidispilinari, pluridisciplinary, dan transdisciplinary science. Rumpun terakhir inilah yang dibahas dalam makalah ini, khususnya interdisciplinary science.

B.     Pembahasan
1.      Klarifikasi Istilah
Dalam dunia ilmu, penggunaan istilah acapkali menimbulkan kesalahpahaman, sehingga terjadi perbedaan dan perdebatan yang tidak perlu dan menyita waktu. Demikian pula halnya dengan beberapa istilah yang terkait dengan kerja sama antar disiplin ilmu. Ada empat istilah yang pengertiannya sering  tumpang tindih (over-lapping), yaitu interdispliner, multidipliner, pluridisipliner, dan transdisipliner.Untuk memperoleh klarifikasi tentang pengertian istilah-istilah tersebut di atas, The Liang Gie dalam bukunya Lintasan Sejarah Ilmu (1998:114) membuat perbedaan sebagai berikut.
Interdisciplinary science ialah ilmu antar cabang yang merupakan saling kait dari 2 cabang ilmu yang berbeda seperti: ilmu Kimia Hayati (Biochemistry) atau Ilmu Keinsinyuran Pertanian (Agricultural Engineering). Saling kait yang dimaksud dalam interdipliner ialah membangun semangat kebersamaan antar disiplin ilmu yang berbeda untuk memecahkan persoalan baru yang dipandang penting. Manakala diterapkan dalam penelitian (Interdisciplinary research), maka ilmu Filsafat sangat berpeluang bekerjasama dengan disiplin ilmu lain untuk memecahkan satu pokok persoalan yang sama-sama dipandang penting. Mukti Ali menunjukkan kasus sama yang pernah terjadi dalam penelitian interdisipliner antara agama dengan ilmu sosial, yakni penelitian dan pengamatan sosial melukiskan situasi konkret, sedangkan refleksi agamis ditempatkan dalam keseluruhan proses penelitian. (1989: 328). Persoalan yang muncul disini ialah: metode disiplin ilmu mana yang dominan diantara keduanya yang dipakai untuk memecahkan pokok persoalan yang diteliti? Hal ini yang akan dibahas dalam kajian lebih lanjut.
Multidisciplinary science ialah ilmu aneka cabang yang dua atau beberapa disiplin ilmu yang berbeda hanya seolah-oleh dijejerkan secara berdampingan tanpa menunjukkan pertalian yang cukup penting. Contoh:Ilmu Arsitektur Kapal (naval architecture) dan Ilmu Keinsinyuran Mesin Kapal (marine engineering). Manakala diterapkan dalam peneltian (Multidisciplinary research), maka bisa terjadi ilmu filsafat dijejerkan dengan ilmu Ekonomi misalnya, tanpa menunjukkan pertalian yang cukup penting, sehingga melahirkan penelitian tentang Filsafat Ekonomi. Ilmuwan ekonomi hanya memandang filsafat seadanya, demikian pula ilmu filsafat hanya menganggap kajian ekonomi sebagai kajian yang terlepas nilai filosofisnya. Kendatipun objek materialnya tetap fokus pada masalah ekonomi, namun objek formalnya boleh jadi filsafat, meski hanya sebagai pelengkap tanpa peran penting yang cukup jelas tentang bagaimana kontribusi ilmu Filsafat terhadap bidang Ekonomi.
Pluridisciplinary science ialah ilmu ragam cabang yang menggabung dua cabang ilmu yang berbeda, sehingga terjadi pertalian meskipun agak longgar. Contohnya Ilmu Linguistic Anthropology yang menggabungkan Ilmu Manusia dengan Ilmu Bahasa dengan perhatian khusus pada bahasa sebagai ciri pembeda yang utama antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Manakala diterapkan dalam penelitian (Pluridisciplinary research), maka Filsafat juga bisa berkolaborasi dengan linguistik, sehingga menghasilkan penelitian tentang Filsafat Linguistik, namun pertaliannya lebih longgar karena kajian lebih terfokus pada masalah linguistik. Contoh karya Paul Chauchard yang berjudul Le Langage et La Pensee (Bahasa dan Pikiran) merupakan suatu bentuk pluridisipliner yang meneliti hubungan antara pembentukan bahasa dengan pembentukan pikiran manusia.
Transdisciplinary science ialah ilmu lintas cabang yang dua bidang ilmu yang berbeda dilebur dengan menetapkan suatu kumpulan patokan pikir bersama yang berlaku bagi kedua disiplin ilmu tersebut. Contoh: Library and Information Sciences (Ilmu Perpustakaan dan Informasi). Patokan pikir bersama dalam hal ini ialah kerangka teoritis dan metodologi, artinya peleburan dua atau beberapa disiplin ilmu dalam lintas cabang mengandung konsekuensi teoritis dan metodologis, berbeda halnya dengan tiga bentuk perpaduan ilmu sebelumnya (interdisiplin, multidisiplin, dan pluridisiplin). Disiplin ilmu Filsafat yang lebur dengan disiplin ilmu lain (ilmu Hukum) melahirkan Filsafat Hukum yang memiliki patokan pikir bersama yang tumbuh seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu Hukum. Penelitian tentang Filsafat Hukum dewasa ini lebih banyak dilakukan oleh para ahli hukum itu sendiri, kendatipun sebagian kecil masih dilakukan oleh para ahli filsafat.

2.Aturan Main  Penelitian Interdisipliner Dalam Filsafat
Adakah aturan main dalam kerja sama penelitian  ilmu antar cabang? Kalau ada Rule of the games dalam penelitian interdispliner, bagaimana langkah awal dalam membangun keterkaitan di antara dua atau beberapa disiplin ilmu yang berbeda tersebut? Aturan main tentu selalu ada, hanya acapkali dibuat secara tidak tertulis atau lebih bersifat konsensus semata. Namun itu jauh lebih baik daripada kerjasama yang dibuat secara arbitrer, sehingga hasil penelitian pun menjadi kabur karena tidak mencerminkan bentuk kerja sama yang saling kait antar cabang. Beberapa aturan main yang perlu diperhatikan dalam penelitian interdisipliner dalam Filsafat adalah sebagai berikut.
Pertama, perlu disepakati judul penelitian yang mencerminkan kerja sama antar cabang, sehingga tidak hanya menggambarkan satu disiplin ilmu tertentu. Contoh: Nilai-nilai Filsafat Ilmu Dalam Program Studi Ilmu Pemerintahan.
Kedua, latar belakang masalah yang akan diangkat dalam penelitian lebih bersifat deskriptif ataukah esensial. Penentuan dan pemilihan masalah yang akan diangkat dalam penelitian sangat menentukan tingkat kedangkalan atau kedalaman hasil sebuah penelitian.
Ketiga, tujuan penelitian lebih kepada upaya melakukan inventarisasi, evaluasi kritis, sintesis, ataukah interpretasi baru terhadap pokok permasalahan yang diteliti.
Keempat, metodologi yang dipergunakan dalam penelitian harus disepakati melibatkan kedua disiplin ilmu, tentu saja dengan tahap-tahap sistematis yang jelas.

3. Langkah Persiapan Dalam Penelitian Filsafat
Kaelan (2005:100) menyatakan bahwa langkah penelitian merupakan suatu manifestasi cara berpikir ilmiah, sistematis, dan objektif. Ia membedakan tahap pra penelitian atau sebelum penelitian dimulai dengan tahap penelitian itu sendiri. Pada tahap pra penelitian hal yang perlu dilakukan ialah studi eksploratif untuk mencari masalah penelitian. Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Suatu penelitian ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk dipecahkan oleh seorang peneliti. Masalah bisa ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca, sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiosity) yang lebih besar terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas suatu fokus permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa  oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Permasalahan dalam penelitian filsafat lebih difokuskan pada hal-hal berikut. Pertama,  masalah nilai filosofis yang terkandung dalam aliran pemikiran tertentu seperti: aksiologi, epistemologi, dan ontologi. Kedua, problem-problem abadi (perennial problems)  yang selalu muncul dalam setiap kurun waktu seperti: masalah kebebasan, keadilan, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan lain-lain. Ketiga, masalah metodologis yang banyak diperdebatkan di kalangan filsuf ilmu seperti: verifikasi, falsifikasi, anarchisme ilmu, revolusi ilmiah, paradigma ilmiah, program riset ilmiah. Keempat, masalah penafsiran atas teks atau naskah filosofis yang memerlukan reinterpretasi karena seiring dengan perkembangan zaman. Kelima, masalah sistem nilai yang berkembang di masyarakat seperti: gaya hidup konsumtif, hedonistik, spiritualistik. Keenam, masalah aktual yang mengundang perdebatan di masyarakat seperti: Euthanasia, kloning, korupsi.     
Pada tahap awal penelitian beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius antara lain: judul penelitian, tujuan penelitian, hipotesis (asumsi pokok) yang dikembangkan, langkah metodis yang dipilih sebagai pisau analisis atas masalah yang diangkat dalam penelitian.

4.      Beberapa Model  Penelitian Ilmu Filsafat
Model penelitian ilmu filsafat pada prinsipnya setara dengan disiplin ilmu lain, hanya ada karakteristik tertentu yang membedakannya satu sama lain. Titik perbedaan utama tentunya terletak pada objek formal atau cara pandang terhadap objek material yang diteliti. Bakker dan Charris (1990: 57-60) menawarkan beberapa model penelitian ilmu filsafat sebagai berikut.


Cycle Diagram


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam model historis-faktual (Lihat Bakker dan Charris, 1990: 65-66) ini antara lain meliputi: Pertama, data dan pengolahannya harus dilakukan dengan sejujur dan seobjektif mungkin, tanpa tergesa-gesa memasukkan konsepsi pemikiran peneliti ke dalam tahap awal penelitian. Meskipun hal ini tidak selalu mudah, namun objektivitas tetap merupakan kunci bagi penelitian ilmiah. Kedua, si peneliti harus sudah memiliki modal atau kisi-kisi atau landasan pemikiran filosofis yang kuat (sistematis dan historis), sehingga dapat menangkap alur pemikiran tokoh, karya, atau naskah yang dijadikan objek penelitian. Ketiga, peneliti harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan daya sintesis yang menyatukan semua unsur dalam satu sistematika penelitian yang teratur. Keempat, peneliti harus rajin menghimpun kepustakaan, baik yang merupakan sumber primer maupun sekunder, sehingga penelitian tidak mandeg lantaran kekurangan data atau informasi yang dibutuhkan. Kelima, kalau penelitian terkait dengan teks atau naskah, maka si peneliti harus bisa memastikan keaslian teks dan bisa memberikan terjemahan dan interpretasi yang adekuat. Oleh karena itu harus ada keahlian khusus  dalam hal bekerja dengan naskah kuno atau bisa saja meminta pertolongan kepada ahli naskah kuno.
Cycle Diagram
Dalam penelitian model pertama ini terbuka peluang untuk interdisipliner, misalnya penelitian tentang naskah Jawa Kuno (Serat Cebolek, Widayat Jati, Dharmo Gandhul,dll). Seorang ahli filsafat belum tentu bisa memahami teks jawa kuno, sehingga memerlukan bantuan ahli bahasa atau seorang filolog. Pengalihbahasaan, pemahaman, dan penghayatan (verstehen) atas naskah kuno hanya bisa dilakukan oleh ahlinya, oleh karena itu serahkan segala sesuatu kepada ahlinya.
Hal yang penting diperhatikan dalam penelitian ilmu filsafat model kedua ini antara lain. (Lihat Bakker dan Charris, 1990: 82) paling tidak si peneliti memiliki kepekaan khusus atas historisitas dan kausalitas historis terhadap isu pokok yang diangkat dalam penelitian. Misalnya konsep keadilan yang dikembangkan sepanjang sejarah pemikiran filsafat mengalami perkembangan yang cukup berarti, walaupun tetap ada hal yang bersifat substansial tentang perihal keadilan tersebut. Disini pun terbuka peluang penelitian interdisipliner, misalnya tentang keadilan bisa bekerja sama dengan ahli hukum dan atau ahli ekonomi. Karena, baik dalam hukum maupun dalam ekonomi, masalah keadilan merupakan isu pokok yang sering dikaji. Tema tentang kebebasan bisa dikembangkan dalam bentuk kerjasama dengan ahli ilmu politik atau psikologi. Misalnya:
1.      Makna Kebebasan Dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Politik.
2.      Makna Kebebasan Eksistensial Dalam Kepribadian Manusia: Sebuah Tinjauan Filsafat Manusia.
Cycle Diagram
Hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian model ketiga ini (Bakker dan Charris, 1990: 88). Pertama, perlunya pemahaman filosofis yang kuat, baik historis maupun sistematis tentang tokoh atau aliran yang diperbandingkan. Sebab bisa jadi peneliti melakukan studi komparasi atas aliran filsafat yang tidak sesuai dengan sistematika filsafati, misalnya: membandingkan aliran Pluralisme dalam  Metafisika dengan aliran Deontologis dalam Etika. Kedua, si peneliti harus memiliki objektivitas yang seimbang (netral)  atas kedua tokoh atau aliran yang diperbandingkan. Keberpihakan sejak awal terhadap tokoh atau aliran tertentu dapat merusak semangat objektivitas ilmiah. Dalam model ketiga ini pun terbuka peluang untuk interdisipliner, karena tokoh yang dibandingkan bisa dikenal dan pemikirannya mewarnai disiplin ilmu lain, misalnya: Marx disamping seorang filsuf, juga dipandang sebagai ekonom dan sosiolog, bahkan ahli politik.

Cycle Diagram

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam model penelitian keempat ini adalah sebagai berikut. (Lihat Bakker dan Charris, 1990: 97). Pertama; perlunya ketelitian dan objektivitas terhadap data, mengingat pengumpulan data di lapangan memerlukan keterampilan tersendiri, dan peluang interdisipliner sangat terbuka dalam model penelitian keempat. Kedua; perlunya si peneliti memahami sifat perbedaan antara data antropologis, sosiologis, politis, dan filsafat, sehingga semangat kerja sama dalam penelitian yang interdisipliner dapat dibangun secara sistematik. Ketiga; peneliti harus mampu membaca dan memahami filsafat tersembunyi yang ada di balik data empiris yang dihimpun, sekaligus memahami struktur pokok yang lazim berlaku dalam disiplin ilmu tertentu. Disini sangat terbuka peluang kerjasama antar disiplin ilmu, karena pada tahap awal kerja dan metode ilmu empirik diperlukan. Misalnya: Penelitian tentang Persepsi Terhadap Pancasila Pada Generasi Muda yang dilakukan oleh Pusat Studi Pancasila UGM. Penelitian tersebut kerja sama antara ahli Filsafat dengan ahli Psikologi yang cukup banyak menaruh perhatian terhadap masalah persepsi.

Cycle Diagram
Hal yang paling  perlu diperhatikan dalam model penelitian kelima ini adalah. (Bakker dan Charris, 1990: 105) kebutuhan lebih banyak akan informasi dari tokoh lain dan disiplin ilmu lain  sebagai mitra dialog dan perbandingan. Dalam model inipun terbuka peluang interdisipliner, karena masalah bahasa, agama, dan politik dikuasai secara khusus oleh ilmu-ilmu cabang. Misalnya: Univok dan Equivok Dalam Bahasa Agama: Tinjauan Filsafat Analitik.   

Cycle Diagram
Masalah aktual artinya masalah yang hangat dibicarakan masyarakat dengan mengundang pro dan kontra. Misalnya: penelitian tentang masalah kloning yang merupakan kajian dalam bio-teknologi –otomatis sudah merupakan penelitian interdisipliner antara biologi dan teknologi—namun masih memungkinkan sentuhan filosofis, terutama pada segi dan pertimbangan kemanusiaan. Demikian pula masalah euthanasia, dunia medis masih memerlukan sentuhan nilai relijius dan filosofis untuk menganalisis kematian yang dikehendaki oleh pasien.

5.Beberapa Kaidah  Metodologi Filsafat
Sejak awal harus disadari oleh si peneliti bahwa setiap disiplin ilmu memiliki kekhasannya masing-masing, termasuk dalam masalah metodologi. Prinsip penting yang perlu ditanamkan disini ialah metode harus menyesuaikan diri dengan bidang ilmu yang ditelaah, bukan sebaliknya. Sebab manakala bidang ilmu yang menyesuaikan diri dengan metode, bisa terjadi metodolatri, yakni pengkultusan terhadap metode. Beberapa kaidah metodologi filsafat yang bisa dipertimbangkan oleh peneliti filsafat meliputi antara lain:
No
Jenis Metodologi
Filsuf
Kaidah Pokok Metodis
Keterangan
1
Skeptis-Metodis
Rene Descartes
  1. Mulailah dengan meragukan segala sesuatu sampai diperoleh kepastian
  2. Klasifikasi persoalan sehingga hal yang sederhana terpisahkan dengan hal yang rumit.
  3. Pecahkan masalah dari hal yg sederhana, bertahap dari yang sederhana hingga hal yang paling rumit.
  4. Cek kembali jangan sampai ada hal yang terabaikan
Langkah metodis Descartes ini bersifat deduktif, karena peneliti harus mencari atau menemukan hal yang meyakinkan dulu sebelum terjun ke dalam pemecahan masalah.
2
Analitika Bahasa
Ludwig Witgenstein
Pada periode pertamanya (Tractatus) menawarkan langkah metodis berupa:
  1. Klarifikasi bahasa melalui prinsip verifikasi antara statemen dengan fakta (Proposisi empirik).
  2. Menganalisis bahasa secara logis (proposisi logis/analitik.
  3. Di luar wilayah itu dianggap meaningless.
Pada periode keduanya (Philosophical Investigations) menawarkan langkah metodis berupa:
  1. Meneliti dan membedakan aturan permainan dalam Language-games.
  2. Therapi atas penggunaan bahasa yang kacau dan tidak semestinya.
  3. Mendeskripsikan jalannya bahasa.
Wittgenstein I cenderung pada bahasa logika, sedangkan Wittgenstein II cenderung pada bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
3
Falsifikasi
Karl Popper
  1. Hipotesis dan teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara
  2. Peneliti berupaya menemukan kesalahan atas hipotesis atau teori yg diteliti.
  3. Ia cenderung menerima deduksi daripada induksi, karena kesalahan dari teori dapat disimpulkan dari pembuktian empirik, dan penyimpulan ini murni deduksi.
  4. Kalau tidak ditemukan kesalahan, maka teori mengalami Corroboration.
Popper menentang prinsip verifikasi yang bersifat afirmatif , seolah membuang dugaan bahwa teori bisa salah.
4
Program Riset Ilmiah
Imre Lakatos
  1. Hard Core; asumsi dasar yang menjadi inti dasar program untuk dikembangkan.
  2. protective belt; hipotesis pendukung sebagai pelengkap inti pokok berupa asumsi yang mendasari kondisi awal.
  3. Negative Heuristic; program penetapan asumsi dasar (hard core) yang melandasi suatu program riset yang terlindungi dari ancaman falsifikasi
  4. Positive Heuristic; program penetapan asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena yang telah ada atau meramalkan fenomena baru  dengan melengkapi Hard core.

Kaidah medologis Lakatos ini bisa berlangsung dalam ilmu yang sudah matang (Maturity of Science), sedangkan dalam ilmu yang Immaturity of science berlaku kaidah Trial and error.
5
Anarkhisme
Feyerabend
  1. Tidak ada validitas bagi satupun metodologi untuk menjadi hukum universal yang mapan.
  2. Semua metodologi mempunyai keterbatasan., sehingga satu-satunya hukum yang  bertahan adalah anything goes!
  3. Berlakunya prinsip Incommensurability, artinya If two scientific theories are incommensurable, there is no way in which one can compare then to each other in order to determine which is the better.

  1. Unsur subjektif memang ada tetapi terbuka untuk dikritik dan diubah dengan argumentasi dan kondisi materiil
  2. Kebebasan Ilmuwan tetap dibatasi kondisi fisik, psikologis, sosiologis dan historis secara objektif.



Prinsip anarchisme ini  merupakan bentuk penegasan tidak adanya satu metodologi yang berlaku secara mutlak bagi beberapa atau semua disiplin ilmu.
6
Historis-hermeneutis
Jǖrgen Habermas
  1. Substansi filsafat terletak pada bahasa
  2. Melakukan interpretasi yang terarah pada orientasi tindakan manusia
  3. Kepentingan subjektif merupakan hal yang tak terhindarkan.
Peluang kerja sama antar disiplin ilmu sangat terbuka, baik dengan rumpun Ilmu analitik-empiris maupun Ilmu sosial-kritik

6.      Perilaku Peneliti Interdisipliner

Khusus dalam penelitian interdisipliner sendiri ada beberapa hal yang menunjukkan perilaku si peneliti yang dalam batas-batas tertentu memang diperkenankan. Pertama, ada seorang peneliti yang sudah menerapkan interdisipliner dalam penelitiannya, karena ia sendiri menguasai atau memiliki latar belakang pendidikan yang beragam, sehingga memungkin hal itu terjadi. Kedua, ada dua atau beberapa peneliti berasal dari disiplin ilmu yang memang berbeda, yang membuat kerja sama untuk memecahkan masalah yang sama dengan masing-masing menyumbangkan kemampuan metodologinya. Ketiga, ada dua atau beberapa institusi yang bekerja sama dengan menunjuk pelaku penelitian untuk menjalin kerja sama antar disiplin ilmu, sehingga hasil yang diharapkan menjadi lebih baik.

7.      Penutup
Model penelitian interdisipliner dalam ilmu filsafat merupakan sebuah kegiatan yang hampir bersifat niscaya, karena peluang untuk bekerja sama dengan hampir seluruh disiplin ilmu mana pun sangat terbuka. Persoalan yang perlu dipikirkan dan direnungkan ialah: Pertama; kesiapan mental ahli filsafat itu sendiri untuk membuka diri atas realitas yang berkembang di luar dirinya, agar tidak terjadi seperti apa yang disindirkan Wittgenstein II dengan pernyataan yang berbunyi: “To shew the fly the way out of the fly-bottle”. (PI, sect.309). Kedua; kesiapan metodologis ahli filsafat itu sendiri untuk mampu menangkap secara tepat, langkah metodis apa yang sekiranya sesuai untuk dipergunakan dalam penelitian interdisipliner tersebut. Ketiga; kearifan dalam berkomunikasi dengan ilmuwan dari disiplin ilmu lain mutlak diperlukan, sehingga faktor mau menang sendiri (solipsistic) harus dihindarkan sejauh mungkin. Keempat; penelitian yang dilakukan sendiri selalu lebih memuaskan dilihat dari segi proses belum tentu hasilnya, namun penelitian yang dilakukan secara bersama lebih memuaskan dari segi hasilnya belum tentu prosesnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti.,1981, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Rajawali Pers, Jakarta.
Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and Row Publishers, Albuquerque.
Bakker, Anton dan Charris Zubair, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Chalmers, A.F., 1983, Apa itu yang Dinamakan Ilmu?( What is this thing is called Science)?, terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, Jakarta.
Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.
Kleden, Ignas., 1987., Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.
Mustansyir, Rizal, dan Misnal Munir., 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nasoetion, Andi Hakim., 1989, Pengantar Ke Filsafat Sains, Litera Antarnusa, Bogor.
Smith, Newton,W.H., 1996, The Rationality of Science, Routledge, London.
Toety Herati., 1984, “Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi Ilmu-ilmu Sosial”, dalam Krisis Ilmu-ilmu Sosiall Dalam Pembangunan Di dunia Ketiga, Penyunting: A.E.Priyono dan Asmar Oemar Saleh, PLP2M, Yogyakarta.
Wittgenstein, Ludwig., 1963, Tractatus Logico-Philosophicus, Routledge and Kegan Paul Ltd, London.
--------------------------.,  1983, The Philosophical Investigations, Routledge and Kegan Paul Ltd, London.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar