Selasa, 08 November 2011

Mutiara Agama - Akhlaq Rasulullah

Akhlaq Rasulullah SAW


“Sesungguhnya telah ada pd (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab:21).

"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai akhlak yang sangat agung." (Al Qalam: 4)


" Dan tidak Kami utuskan engkau (Muhammad) melainkan untuk rahmat kepada sekalian alam." (Al Anbiya: 107) . 

Rasulullah SAW juga pernah bersabda: 
"Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia." (Riwayat Malik) 

A.    Masa Kecil beliau:
    1. Di bawah asuhan Halimah: Berbagai mukjizat & kepribadian yang menyenangkan.
    2. Di bawah asuhan Kakeknya Abdul Muthalib: cucu yang patuh & menyenangkan.
    3. Di bawah asuhan pamannya Abu Thalib; penurut dan membantu menggembala ternak untuk meringankan beban pamannya.
    4. Membantu pamannya berniaga, sehingga terbangun semangat berwirausaha.
  1. Masa Remaja beliau memiliki sifat antara lain:
    1. Mandiri
    2. Jujur
    3. Amanah
    4. Suka menolong orang lain
  1. Masa Dewasa beliau memiliki karakter:
    1. Pedagang yang jujur
    2. Pedagang yg mengesankan pembeli sehingga banyak relasi
    3. Suami teladan ketika memperisteri Siti Khadijah
  1. Masa tua beliau, yaitu:
    1. Sering menyepi (Uzlah) di Gua Hira’
    2. Mendapat wahyu
    3. Berdakwah
    4. Berhijrah ke Madinah
    5. Menjadi pemimpin umat.
    6. Sifat Pengasih
Allah SWT telah berfirman:

"Maka dengan rahmat ALLAH-lah kamu dapat berlaku lemah-lembut dan kasih sayang pada mereka. Dan jikalau kamu berkasar dan berkeras hati niscaya mereka akan menjauhkan diri darimu. "(Ali Imran: 158-159)

Di antara Hadis yang menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Rasulullah SAW ialah:
"Barang siapa yang tidak mengasihi manusia, dia tidak dikasihi Allah. "(Riwayat At Tirmizi)

" Kasihilah siapa saja yang ada di bumi niscaya akan mengasihi kamu siapa-siapa saja (malaikat) yang di langit." (Riwayat Abu Daud)

" Sebaik-baik manusia ialah orang yang memberi manfaat pada manusia (termasuk meratakan kasih sayang).
Sebaik-baik manusia ialah mereka yang paling baik akhlaknya (kasih sayang kepada orang lain)." (Riwayat At Thabrani).

Contoh sifat pengasih Rasulullah:
a.      Memberikan jubahnya kepada orang Badui yg memintanya secara kasar.
b.      Membesuk wanita tua yang selalu menebar duri & najis di jln Rasulullah.
c.      Menanyakan kabar sahabatnya yang tidak kelihatan 3 hari.
d.      Selalu membantu orang yang dalam kesulitan.
e.      Memaafkan penduduk Thaif yang melempari beliau dengan batu.
               f.      Memaafkan Suraqah yang hendak membunuh beliau saat hijrah.

Kecerdasan Lokal dalam Proses Ritual menjadi Balin pada Masyarakat Dayak

KECERDASAN LOKAL DALAM PROSES RITUAL MENJADI BALIN (SHAMAN)
PADA MASYARAKAT DAYAK

Peneliti:
1.      Rizal Mustansyir
2. Sonjoruri Budiani Trisakti

INTISARI
            Kecerdasan lokal pada proses menjadi balin dalam masyarakat Dayak mengandung banyak keunikan dan berelasi secara kuat dengan kreativitas. Setiap tindakan manusia selalu didasarkan atas kreativitas tertentu dalam rangka menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dibalik sebuah kreativitas terdapat kecerdasan  yang umumnya didominasi oleh kelompok minoritas dalam suatu kebudayaan.  Wujud kecerdasan manusia dapat dimanifestasikan dalam bentuk artefak, tindakan, dan ide. Salah satu bentuk kecerdasan  lokal dalam budaya Dayak dapat dilihat dalam prosesi ritual menjadi balin.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang dilengkapi dengan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang pernah melakukan penelitian tentang shaman masyarakat Dayak, dilengkapi pula dengan wawancara dengan beberapa pelaku balin di Desa Bagak Sahwa, Singkawang dan Daerah Mandor, Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode reflektif-hermeneutika yang didasarkan atas unsur-unsur metodis: analisis kritis, interpretasi, dan  deskripsi dengan menggunakan teori kecerdasan Gardner.
            Hasil penelitian Kecerdasan lokal dalam aktivitas saman atau balin pada budaya Dayak Kalimantan, ketujuh kecerdasan yang diungkap oleh Gardner teroperasikan secara kait mengkait, sehingga seorang balin t mampu melakukan tugas dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan dihadapi masyarakatnya. Namun demikian dari ketujuh macam kecerdasan tersebut, kecerdasan Bodily-kinesthetic, intrapersonal dan interpersonal yang paling menonjol sementara bentuk kecerdasan spatial lebih dimaknai secara metafisik, bukan ruang dalam arti fisik.

Konsep Urang Sabana Urang dalam Pepatah Adat Minangkabau

KONSEP URANG SABANA URANG DALAM PEPATAH ADAT MINANGKABAU

Peneliti:
1.      Rizal Mustansyir
2.      Misnal Munir


INTISARI
            Penelitian tentang konsep Urang sabana urang dalam Pepatah Adat Minangkabau ini merupakan penelitian kepustakaan. Pemahaman atas jati diri orang Minang sebagaimana yang termaktub dalam pepatah itu mulai mengalami gesekan dengan pengaruh dari luar, terutama dengan semakin kerasnya arus globalisasi. Oleh karena itu diperlukan penafsiran ulang atas Konsep Urang sabana Urang dalam Pepatah Adat Minangkabau dalam rangka melestarikan kearifan local yang telah diwariskan generasi terdahulu.
            Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode Hemrneutika-reflektif, khususnya alur teori hermeneutika Wilhelm Dilthey. Dilthey menekankan 3 unsur metodis yang penting dalam hermeneutika, yaitu erlebnis, ausdruck, dan  verstehen.
            Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pemahaman tentang Filsafat Hidup Minangkabau itu merupakan proses umum yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, sebagaimana yang terungkap dalam pepatah adat Minangkabau.
Kedua;  bahwa konsep Urang sabana urang masyarakat Minangkabau itu terungkap dalam pepatah petitih Minangkabau yang dalam terminologi Dithey merupakan ausdruck, ekspresi pengalaman hidup dan historisitas masyarakat Minangkabau.
Ketiga; karakter manusia ada enam macam manusia, yaitu orang, orang-orang, orang yang tampan, orang yang angkuh, orang-orangan,  orang yang sebenar-benar orang.
Keempat; pemahaman atas konsep urang sabana urang dalam verstehen  masyarakat Minangkabau adalah orang yang memiliki karakter seperti: mengetahui awal dan akhir, lahir dan batin, punya rasa malu dan sopan, memiliki sifat cerdik cendekia, arif bijaksana, berbudi tinggi, banyak ilmu, menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya.
Kelima; pengaruh globalisasi dan budaya hidup modern ikut mempengaruhi cara pandang masyarakat Minangkabau tentang konsep urang sabana urang, sehingga diperlukan reinterpretasi atas konsep tersebut agar dapat dipahami dengan baik oleh generasi muda Minang yang tercerabut dari akar budayanya.

Kata Kunci: urang sabana urang, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah


A.    LATAR BELAKANG
                                                                                                                
Masyarakat Minangkabau adalah suatu kelompok etnik atau suku yang mendiami wilayah Propinsi Sumatera Barat. Sebagaimana halnya dengan masyarakat Indonesia lainnya di wilayah nusantara ini, masyarakat Minangkabau memiliki sistem nilai budaya yang telah diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Masyarakat dan kebudayaan Minangkabau memiliki filsafat dan pandangan    hidup (Weltanschauung atau Way of life) yang terekspresikan dalam pepatah petitih adat yang menjadi acuan hidup mereka. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa nilai-nilai kehidupan yang mereka yakini itu adalah prinsip hidup yang abadi dan langgeng, yang terkenal dengan ungkapan "tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan." Melalui pepatah-petitih dan pantun-peribahasa itu, akan  ditemukan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang dijadikan dasar dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
Adat dan kebudayaan Minangkabau pun menerima prinsip-prinsip pembaruan
dengan orientasi: change and stability.
Sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan itu adalah filosofi dasar dan  prinsip-prinsip dasar, yang kalau "dibubut layu, diasak mati." Seperti prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan di atas, tanpa itu dia tidak bernama Minangkabau lagi. Ini yang dinamakan dengan: "Adat nan sebenar adat." Selain itu, prinsipnya adalah: "Sekali air gadang sekali tepian berubah." Termasuk ke dalamnya adalah ketiga kategori adat lainnya, masing-masing "Adat nan diadatkan," "adat-istiadat" dan "adat nan teradat." Keempat adat itu berjejer dalam satu garis kontinum, dari yang sama sekali tidak bisa berubah menuju ke yang setiap kali bisa berubah sesuai dengan tuntutan masa dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam kenyataan empirisnya, bagaimana pun, adat dan kebudayaan Minangkabau telah mengalami nasib yang sama seperti dialami Islam di masa sebelum kebangkitan ini. Nasib yang sama sekarang juga cenderung dialami oleh konstitusi 1945 sendiri, yang dari satu sisi sesungguhnya adalah refleksi dari budaya sintesis Minangkabau. Ide-ide tentang kedaulatan rakyat, musyawarah, kebersamaan, keadilan, ekonomi kekeluargaan, dan sebagainya banyak diilhami ataupun ditimba dari khasanah kebudayaan Minangkabau melalui suara dan pemikiran tokoh-tokoh pendiri republik, yang kebetulan berasal dari bumi Minangkabau ini seperti: Mohammad Hatta, Agus Salim.
Sebagai sebuah ideologi budaya, dia indah untuk disebut-sebut, dan kedengarannya ideal sekali untuk diperkenalkan ke masyarakat dunia untuk diterapkan di masa-masa mendatang. Tapi, masyarakat Minangkabau sendiri sekarang sudah tidak lagi tertarik dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sifatnya demokratis, egaliter, terbuka, resiprokal, sentrifugal itu. Atau, mereka sebenarnya masih merindukannya, namun dunianya terkurung oleh sistem budaya yang lebih dominan yang berlawanan dengan itu, terutama pengaruh budaya global.
  Di samping itu, proses pengeroposan budaya pun terjadi, sehingga yang dipraktekkan oleh orang-orang Minangkabau terhadap adat dan kebudayaan mereka sendiri tinggal kulit-kulit luarnya yang lebih bersifat seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Hal ini telah ditengarai oleh Syafii Ma’arif yang mengatakan bahwa adat kebudayaan Minangkabau menjadi gersang, akibatnya nilai-nilai budaya berupa keramahan dan sifat suka menolong sudah punah dan jauh dari sikap manusia Minangkabau pada umumnya. (Syafii Ma’arif, 2005).
Orang Minangkabau sendiri, terutama generasi mudanya, mulai melihat aneh kepada nilai budaya aslinya. Melalui proses pendidikan dengan sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah atau di luar sekalipun, sekarang mereka telah menjadi orang Indonesia tapi dengan konotasi yang seperti itu. Kini sukar diharapkan mereka yang akan membawakan konsep demokrasi egaliter dengan keterbukaan dan segalanya itu ke dunia luar ketika mereka sendiri tidak lagi mengenal dan mengerti, apalagi menghayati, sistem budaya itu sendiri.
Dengan berbagai permasalahan yang timbul dalam budaya Minangkabau, maka mereka tidak bisa berbuat hanya dengan menyebut-nyebut saja, tapi harus menuangkan tekad itu ke dalam program yang jelas, seperti di bidang ekonomi dan pendidikan, di bidang kebudayaan dan di bidang filsafat. Reorientasi budaya Minangkabau saat ini sangat diperlukan, yaitu dengan cara mengeksplisitasikan nilai-nilai filsafat dalam Budaya Minangkabau tersebut, sehingga pepatah tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar terwujud dalam kenyataan. Pepatah petitih adat Minangkabau yang sarat makna tidak  hanya sebagai lipservice, tetapi perlu penghayatan dan penggalian makna yang lebih serius. (Syafii Ma’arif:2005). Dengan mengekplisitasikan nilai-nilai filsafat dalam budaya Minangkabau secara sistematik melalui suatu penelitian dan menuliskannya dalam suatu naskah yang dapat dibaca oleh berbagai pihak, maka nilai-nilai filsafat dalam budaya Minangkabau itu akan terdokumentasikan untuk kemudian dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut oleh generasi yang akan datang. Dengan demikian upaya menemukan makna atas tujuan hidup masyarakat Minangkabau merupakan sebuah penelitian yang sangat penting, tidak hanya dalam rangka menyusun sistematika filsafat hidup, melainkan menghidupkan kembali way of life masyarakat Minangkabau yang mampu berperan sebagai pedoman hidup bersama.
Dalam pemikiran Sastrapratedja (2009:2) fungsi filsafat itu dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu pertama; filsafat mempertanyakan dan mencari dasar tentang segala sesuatu. Hal ini telah dilakukan para filsuf Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang arche. Kedua; filsafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari realitas sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia. Ketiga; filsafat berfungsi sebagai kritik ideologi. Penelitian ini lebih relevan dengan fungsi filsafat kedua, yakni mempertanyakan, mencari, dan menemukan makna realitas sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia Minangkabau dalam rangka memperkaya mozaik kearifan lokal dalam wadah Filsafat Nusantara .

B.     PEMBAHASAN

  1. Filsafat Sebagai Pandangan Hidup
Setiap kebudayaan tentu memiliki suatu prinsip-prinsip filsafat sebagai pegangan kehidupan pribadi maupun masyarakat. Prinsip-prinsip filsafat ini biasanya dinamakan dengan istilah pandangan hidup, “way of life”, atau “weltanschauung”. Dalam filsafat, pandangan hidup ini disebut dengan filsafat dalam artian informal. Titus dkk. (1984: 11) mengatakan bahwa filsafat dalam artian informal adalah sekumpulan sikap atau kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat dalam artian informal ini biasanya menjadi landasan bagi indidividu atau kelompok menjalani kehidupan dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupannya.
Pandangan hidup lahir dari hasil perenungan yang kemudian menjadi sistem nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kattsoff (1986:12) mengatakan bahwa perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia dan tempat kita hidup maupun diri kita sendiri. Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Menurut sudut pandangan ini, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum. Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, tidak ada sesuatu pun yang berada di luar jangkauannya. Suatu sistem baru dianggap memadai jika memuat penjelasan tentang semua gejala. Secara singkat, perenungan kefilsafatan berusaha memahami segenap kenyataan dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia (Jerman: Weltanschauung) atau pandangan hidup (Inggris: Way of life) yang memberikan keterangan tentang dunia dan semua hal yang ada di dalamnya.
Filsafat sebagai pandangan hidup dalam suatu masyarakat tertentu dapat ditemukan dalam kebudayaan. Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan tidak hanya mencakup hasil-hasil material seperti karya seni, ilmu pengetahuan, alat-alat, pakaian, melainkan juga termasuk cara menghayati kematian, cara melaksanakan perkawinan, dan sebagainya. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu-ilmu alam dan teknologi). Kebudayaan bukanlah sesuatu yang beku dan jadi, melainkan sesuatu yang senantiasa dalam proses dan perubahan. Bagaimana pun dinamisnya suatu kebudayaan, sebagai produk manusiawi kebudayaan dapat diselidiki. Artinya kebudayaan bukanlah suatu gejala yang melulu berubah secara mendasar, melainkan juga membekas dalam pola-pola tertentu. Pola-pola ini dapat diamati dan dijabarkan dalam bentuk sebuah paparan (Mudji-Sutrisno,2008:6-8).
            Clifford Geertz dalam bukunya Interpretation of Culture sebagaimana disitir Irwan Abdullah, mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Kebudayaan itu merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap kehidupannya (Irwan-Abdullah, 2006:1).

2.  Sepintas Kebudayaan Minangkabau
Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah (Navis, 1986:1) Prinsip-prinsip Kebudayaan Minangkabau itu dapat ditemukan dalam “Tambo” yang secara turun-temurun diwariskan melalui penuturan (lisan). Tambo adalah suatu karya sastra sejarah, suatu karya sastra yang menceritakan sejarah (asal usul) suku bangsa, asal usul negeri dan adat istiadatnya, yaitu Minangkabau. Karya sastra sejarah ini dapat juga disebut historiografi tradisional, penulisan sejarah suatu negeri berdasarkan kepercayaan masyarakat turun temurun (Edwar-Djamaris, 1991:1).
Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan dalam lingkungannya. Artinya adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, sehingga setiap pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain (Rajo Penghulu; 1994:13)
Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai kelompok masyarakat yang mencontoh harmoni sistem hukum alam. Artinya, mereka dapat diibaratkan dengan semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya. Unsur-unsur itu saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tetapi, tidak saling meleburkan (Navis, 1986:59). Syafii Ma’arif (1996:129) menambahkan bahwa manusia menurut pandangan pandangan pepatah adat Minangkabau haruslah memiliki status dan kedudukan yang sama di depan sejarah, sekalipun memiliki fungsi yang berbeda, seperti berbedanya fungsi matahari dan bumi, air, dan udara.
Manusia dalam pandangan filsafat alam Minangkabau memiliki fungsi dan peran yang sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Pepatah adat Minangkabau mengukuhkan sikap hidup ini dengan ungkapan “Yang buta penghembus lesung, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang kuat pemikul beban, yang bodoh untuk disuruh-suruh, dan yang pintar lawan berunding” (Nasrun, 1971:67). Selain itu masyarakat Minangkabau dikenal juga sebagai masyarakat yang sangat terbuka dalam menerima perubahan. Suku bangsa Minangkabau terkenal kepeloporannya dalam menyeruak ke alam pemikiran modern tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang telah berurat berakar dalam kebudayaan mereka (Hars, 1992:98)
Memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik (yang merupakan pedoman yang diturunkan), tetapi sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktekkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu (Irwan-Abdullah, 2006:9-10). Salah satu bentuk perubahan yang esensial ialah perkenalan yang lebih mendalam dengan agama Islam yang telah menimbulkan kesadaran pada orang Minangkabau untuk lebih mementingkan keislamannya daripada keminangkabauannya dan menimbulkan kesadaran tentang keganjilan adat Minangkabau. (Umar Yunus, 2007; 249).  

3. Filsafat Hidup Wilhelm Dilthey Sebagai Pisau Analisis
Pemahaman tentang makna  hidup sebagai manusia dalam kebudayaan Minangkabau memerlukan metode hermeneutika, dalam hal ini peneliti menggunakan pemikiran Dilthey tentang hermeneutika yang  bertitik tolak dari Filsafat Hidup (Philosophie des Lebens), yang membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen). Melalui hermeneutikanya itu Dilthey bermaksud memberikan pendasaran epistemologis dan logis bagi ilmu sejarah. Hidup bagi Dilthey mengacu pada keadaan jiwa, proses, aktivitas sadar & tidak sadar, kreatif & ekspresif. Aktivitas hidup manusia merupakan substansi sejarah & objek Geisteswissenschaft. Hidup adalah kontinuum kenyataan yang bergerak dalam sejarah. Namun hidup tidak dapat diterangkan (erklaren), melainkan hanya dapat dipahami (verstehen).  Kehidupan dalam pemikiran Dilthey dimaknai secara khusus, bukan hanya arti biologis, tetapi seluruh kehidupan manusia yang dialami dengan berbagai keanekaragamannya. Dunia terdiri atas banyak kehidupan individual yang secara bersama membentuk kehidupan umat manusia sebagai kenyataan sosial dan historis. Oleh karena itu bagi Dilthey, kehidupan merupakan satu-satunya objek filsafat, dan tidak ada sesuatu di luar kehidupan. Ia menolak bentuk transendensi karena filsuf sendiri termasuk ke dalam kehidupan, dan itu hanya dapat dimengerti dari dalam. (Bertens, 1983: 88).
Pemikiran Dilthey tentang hermeneutika dimaksudkan sebagai ajang  pembuktian bahwa informasi historis acapkali bersifat insidental dan berlebihan, karena itu diperlukan filologi – dalam hal ini pemahaman tentang bahasa Minangkabau - untuk menyelami dan memahami fenomena historis secara universal. Untuk itu diperlukan aturan yang mengarah pada hasil yang lebih pasti melalui situasi ilmiah. Dalam pemikiran Dilthey, hermeneutika meningkat perannya dari teori pemahaman menjadi suatu disiplin ilmu yang berprinsip fundamental (Grundlagenwissenschaft). (Peter Szondi, 1978: 18-19). Tugas hermeneutika, bagi Dilthey ialah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar kualitas sejarah aman dari penyelundupan pandangan yang tidak dapat dipertanggunjawabkan. (Poespopoprodjo, 1987: 63).
Konsep pemahaman sebagai proses intelektual memberikan akses kepada kita pada dunia manusia, hal ini memainkan peran penting dalam pemikiran Dilthey. Ia menanamkan pengaruh yang besar bagi pengembangan disiplin yang dikenal dengan nama verstehens-soziologie (Understanding sosiology)  dan verstehens-psychologie (Understanding psychology). Hal itu menjadi sangat penting karena menjelaskan gagasannya  tentang pemahaman  dan alasan Dilthey memandang pemahaman sebagai hal yang sangat krusial. Keyakinan Dilthey bahwa pemahaman merupakan hal yang sangat penting bertitik tolak dari empat asumsi. Pertama, bahwa pemahaman itu merupakan proses umum dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, pemahaman sebagai sumber bahkan pengetahuan mendasar  realitas manusia. Ketiga, pemahaman terkait dengan realitas sosial yang kompleks berupa proses yang unik, yaitu bahwa seseorang tidak dapat dijabarkan atau ditempatkan kembali oleh yang lain. Keempat, bahwa pemahaman merupakan bagian esensial dari metode tentang studi manusia yang berbeda dari sains  (Rickman, 1979: 74).
Kunci pemahaman kehidupan batiniah manusia yang meliputi hal-hal berikut. Pertama, pemahaman itu dilakukan bukan via introspeksi, melainkan via sejarah. Artinya sejarah memainkan peranan yang sangat penting untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia. Kedua, problem pemahaman terletak pada penemuan kesadaran historis eksistensi manusia. Ketiga, manusia hidup dalam kompleksitas pengalaman hidup langsung sebagai totalitas. Keempat, pemahaman lebenswelt artinya pemahaman partikular yang harmonis atas momen  makna hidup. Kelima, bagian makna hidup membutuhkan masa lalu dan harapan horizon masa depan. Keenam, bagian makna hidup ini secara intrinsik bersifat temporal dan terbatas, sehingga harus dipahami dalam terminologi historisitasnya.
4.      Jenis-jenis Manusia  Minangkabau Berdasarkan Karakter
Dalam hal ini filosofi Minangkabau menyebutkan adanya ada enam jenis manusia berdasarkan karakternya, yaitu pertama  disebut dengan orang. Kedua disebut dengan orang-orang. Ketiga disebut dengan orang tampan. Keempat disebut orang yang angkuh atau sombong. Kelima dinamakan dengan orang-orangan (Bahasa Jawa: memedi sawah). Keenam disebut dengan manusia seutuhnya (insan kamil). Karakter manusia tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

a.      Urang ; artinya tahu membedakan mana yang baik dan yang buruk, tahu membedakan mana yang tinggi dan yang rendah. Karakter urang ini dinamakan juga sebagai orang biasa, mengacu pada perilaku orang pada umumnya, dikatakan juga sebagai manusia normal yang memiliki perilaku standar.

b.      Urang-urang; artinya bentuknya atau fisiknya saja yang menyerupai manusia, namun  ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai, ia seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa.

c.        Tampan Urang; artinya seseorang yang kalau dilihat atau diamati dari jauh, bentuknya seperti manusia sesungguhnya, gagah penampilan fisik meyakinkan, namun belum jelas akhlak atau moralnya, sehingga belum dapat dipercaya atau diyakini moralitasnya.
d.      Angkuah-angkuah urang; artinya seseorang yang diibaratkan seperti patung (robot). Hidupnya ditentukan oleh orang lain (pasif), sehingga ia tidak mempunyai pendirian. Otaknya digambarkan seperti “otak udang”, “benaknya di jempol kaki”.  Otak udang dan benak di jempol kaki merupakan sebuah ungkapan,  metafor yang merupakan sebuah bentuk analogi tentang orang yang sangat bodoh.
e.    Urang-urangan; artinya bukan manusia tetapi hanya menyerupai manusia seperti memedi sawah untuk menakut-nakuti burung. Kalau ditarik ia bergerak, kalau tidak ia diam saja. Urang-urangan disini mengacu pada sejenis benda yang dibuat mirip orang untuk menakut-nakuti burung yang dianggap sebagai hama di sawah. Penggunaan metaphor untuk penyebutan orang-orangan dimaksudkan sebagai analogi untuk benda menyerupai orang yang berfungsi sebagai substitusi orang dalam arti sebenarnya, sehingga binatang seperti burung menjadi takut lantaran mengira benda itu sebagai manusia yang sesungguhnya.
f.     Urang Sabana urang; artinya seseorang yang mengetahui perihal awal dan akhir, tahu tentang lahir & batin, peka terhadap persoalan yang berkembang di sekitarnya, punya rasa malu dan sopan santun, bisa merasakan sesuatu dan punya rasa ingin tahu untuk memeriksa lebih lanjut (tahu jo raso pareso). Ia digambarkan sebagai orang yang cerdik cendekia, arif bijaksana, berakhlak mulia, banyak ilmunya. Orang seperti ini memenuhi syarat sebagai manusia bermartabat. Hidupnya menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya. (Madjo-Indo, 1999: 57).
5.      Martabat Manusia
Martabat manusiadalam pepatah adat Minangkabau  ada empat, yaitu:
a.       Cerdik, artinya “kendaraan nan maha tinggi, karano berakal”. Secara metafor artinya kekuatan akalnya diibaratkan fasilitas untuk menjelajahi dunia, sehingga ia bisa berbuat banyak, dapat pula dijabarkan ke dalam pepatah lain yang berbunyi hidup berakal mati beriman. Dengan demikian orang seperti ini tidak akan pernah mengalami deadlock, karena ia selalu dapat memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya, bukan hanya untuk dirinya, bahkan membantu kesulitan orang lain. Amir M.S menambahkan pengertian cerdik dengan pandai, sehingga dinamakan orang cerdik pandai adalah orang yang tahu dengan gelagat, tahu dengan patahan dahan dan kait, pandai memangkas pematang hingga rapi dan menambal, pandai menghilang dalam air, membuhul tanpa membenjol, menyambung tanpa membekas. (Amir M.S:2007: 52). Makna yang lebih dalam tentang ungkapan ini mencerminkan tentang keunggulan orang cerdik pandai yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara rapi, cermat, mengesankan tanpa menyinggung perasaan orang lain, memiliki kemampuan membaca situasi.

b.      Cendekia; “nagari nan maha laweh, babudi nan maha tinggi”. Secara metafor orang yang dimaksud adalah orang yang berdada lapang dan berbudi tinggi. Negeri yang maha luas menggambarkan dan merupakan substitusi dari orang yang berdada lapang, mampu menampung berbagai permasalahan yang ada, tidak hanya permasalahan dirinya bahkan permasalahan orang lain.

c.       Budiman (berakhlak); Nan dikatokan budiman, pakaian nan maha baiek, kahidupan nan panuah kasabaran. Artinya secara metafor mencerminkan orang yang berakhlak dan berkelakuan terpuji dan sabar dalam menghadapi kehidupan.
d.      Arif; digambarkan dalam ungkapan palito nan tarang, hiduik nan panuah jo ilmu. Artinya  secara metafor orang tersebut memiliki ilmu yang banyak, sehingga dijadikan tempat bertanya bagi orang-orang di sekitarnya atau dianggap sebagai narasumber yang terpercaya.

C.    KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka hasil peneitian ini tiba pada butir-butir kesimpulan sebagai berikut.
Pertama;  bahwa pemahaman tentang Filsafat Hidup Minangkabau itu merupakan proses umum yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Pemahaman atas konsep Urang sabana urang dalam pepatah adat Minangkabau bersumber pada realitas masyarakat Minangkabau yang terkait dengan realitas kehidupan sosial yang kompleks dan  unik yang tercermin dalam kehidupan konkret mereka sebagaimana yang tercantum dalam teks tambo adat Minangkabau. Pengalaman hidup masyarakat Minangkabau sebagai perjalanan historisitas ini dalam terminologi Dilthey dinamakan erlebnis.
Kedua;  bahwa konsep Urang sabana urang masyarakat Minangkabau itu terungkap dalam pepatah petitih Minangkabau yang dalam terminologi Dithey merupakan ausdruck, ekspresi pengalaman hidup dan historisitas masyarakat Minangkabau. Ekspresi tersebut paling banyak ditemukan dalam jenis karakter manusia sebagaimana tecermin dalam ungkapan  yang berbunyi: ada enam macam manusia; pertama orang namanya, kedua dinamakan orang-orang, ketiga dinamakan orang yang tampan, keempat orang yang angkuh, kelima, dinamakan orang-orangan, keenam orang yang sebenar-benar orang.
Ketiga; pemahaman atas konsep urang sabana urang dalam verstehen  masyarakat Minangkabau adalah orang yang memiliki karakter seperti: mengetahui awal dan akhir, lahir dan batin, punya rasa malu dan sopan, memiliki sifat cerdik cendekia, arif bijaksana, berbudi tinggi, banyak ilmu, menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya.
Keempat; kunci pemahaman kehidupan batiniah manusia atas konsep urang sabana urang dalam pepatah adat Minangkabau terletak pada historitas, artinya sejarah masyarakat Minangkabau memainkan peranan yang sangat penting untuk memahami berbagai aspek kehidupan mereka. Dengan demikian pemahaman yang komprehensif atas konsep urang sabana urang terletak pada penemuan kesadaran historis dan kompleksitas pengalaman hidup langsung masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Kelima; pengaruh globalisasi dan budaya hidup modern ikut mempengaruhi cara pandang masyarakat Minangkabau tentang konsep urang sabana urang, sehingga diperlukan reinterpretasi atas konsep tersebut agar dapat dipahami dengan baik oleh generasi muda Minang yang tercerabut dari akar budayanya.

D.    DAFTAR PUSTAKA

Amir,M.S. 2007, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Values, Albuquerque, New Mexico.
Bertens, Kees., 1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggeris-Jerman, Gramedia, Jakarta.
Deledalle, Gerard ; 2000. Charles Peirce’s Philosophy of Signs : Essays in
               Comparative Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Edwar Djamaris, 1991, Tambo Minangkabau; Suntingan teks disertai Analaisis Struktur, Balai Pustaka, Jakarta.
Hars, Nasruddin, 1992, Profil Propinsi Sumatera Barat, Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Jakarta.
Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo., 2009,  Tambo Alam Minangkabau, Kristal Multiedia, Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Irwan-Abdullah, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kattsoff, L. O., 1986, Pengantar Filsafat (Elements of Philosophy), alih bahasa: Drs. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 2004, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Cetakan Keduapuluh satu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ma’arif, Ahmad Syafii, 1996, “Gagasan Demokrasi dalam Perspektif Budaya Minangkabau”, dalam; Muhammad Najib dkk. (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, LKPSM, Yogyakarta.
Madjo-Indo, A.B.Dt., 1999, Kato Pusako: Papatah, Patitih, Mamang, Pantun, Ajaran, dan Filsafat Minangkabau, PT Rora Karya, Jakarta.
Mudji-Sutrisno, 2008, Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks, Hujan Kabisat, Jakarta.
Nasroen, M., 1957, Dasar Falsafat Adat Minangkabau, Penerbit Pasaman, Jakarta.
Navis, A.A., 1986, Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan Kabudayaan Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Rajo Penghulu, Idrus Hakimy Dt., 1994, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Rajo Putiah, A.B. Dt.  1992, “Siapa Sebenarnya Ninik Mamak Itu ?” Buletin Sungai Puar No. 39 Februari 1992.
Rickman, H.P., 1979, Wilhelm Dilthey: Pioneer of the Human Studies, Paul Elek, London.
Sastrapratedja, M., 2009, Pancasila sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kritik Ideologi, makalah dalam Kongres Pancasila, yang diselenggarakan Pusat Studi Pancasila UGM dan Mahkamah Konstitusi RI.
Syafii Ma’arif, 2005, “Etika Orang Minang Semakin Merosot”, dalam REPUBLIKA, tanggal 21 Juni 2005.
Szondi, Peter., 1978, Introduction to Literary Hermeneutics, dalam http://www.jstor.org/stable/488257accessed: 21/ 07/ 2008.
Titus, H. H., Marilyn S. Smith, and Richard T. Nolan, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat (Living Issues in Philosophy), alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta.
Umar Yunus, 2007, ”Kebudayaan Minangkabau” dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia,Cetakan keduapuluhdua, Penerbit Djambatan, Djakarta.
Wasito Poespoprodjo., 1987, Interpretasi, Penerbit Remadja Karya, Bandung.
-------------------------., 1985, Hermeneutika Filsafati: Relevansi dari Beberapa Perspektifnya Bagi Kebudayaan Indonesia, Disertasi pada Universitas Padjadjaran.

Metode Interdisipliner

MODEL INTERDISPLINER DALAM PENELITAN
ILMU FILSAFAT
Oleh:
Rizal Mustansyir
A.    Pendahuluan
Penelitian merupakan salah satu aktivitas ilmiah yang sangat penting di dalam duniah ilmiah. Penelitian bahkan merupakan salah satu pilar utama dari Tri Dharma Perguruan Tinggi di samping pengajaran dan pengabdian pada masyarakat. Penelitian merupakan cerminan kepedulian dan rasa ingin tahu (curiosity) komunitas ilmiah terhadap berbagai permasalahan dan fenomena yang dihadapi dalam kehidupan ilmiah. Setiap ilmuwan dituntut untuk mengembangkan studi, karya, dan penelitian ilmiah yang dalam kategori epistemologis Popperian termasuk ke dalam Dunia Tiga, yakni ranah atau medan pergulatan pemikiran para ilmuwan yang berisikan berbagai hipotesis, dalil, teori dan paradigma ilmiah.(Rizal Mustansyir, 2001:  153).
Penelitian ilmiah merupakan cara kerja yang harus mengikuti pedoman kerja sebagai berikut: bekerja dengan jujur; jangan menukangi (mengeksploitasi, Pen.) data; selalu bertindak tepat, teliti, dan cermat; berlaku adil terhadap pendapat ahli yang muncul terlebih dahulu; menjauhi pandangan yang bias terhadap data dan pemikiran ilmuwan terdahulu; tidak berkompromi dalam menyelesaikan masalah namun mengusahakan penyelesaian masalah secara tuntas. (Nasoetion, 1989: 29).
Habermas, menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan. (1971:313). Penelitian ilmu filsafat dalam kategori Habermas (Ignas Kleden, 1987: 33-34; ) termasuk ke dalam kelompok ilmu historis-hermeneutis yang memperlihatkan ciri-ciri berikut. Pertama,  jalan untuk mendekati kenyataan bukanlah melalui observasi, melainkan melalui pemahaman arti atau makna suatu objek. Kedua, ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut bukan melulu dilaksanakan melalui tes yang direncanakan, melainkan via interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedangkan interpretasi yang keliru akan mendatangkan sanksi berupa kesalahpahaman. Ketiga, suatu pemahaman hermeneutis selalu merupakan bentuk pemahaman berdasarkan pra-pengertian. Pemahaman atas orang lain baru akan tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Dengan demikian pemahaman berarti menciptakan komunikasi antar kedua situasi tersebut. Keempat, Komunikasi tersebut akan semakin intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang hendak memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri. Kelima, kepentingan yang ada di sini ialah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang berlandaskan pada norma konsensus mengenai tingkah laku yang diakui dan diterima. Keenam, kekuatan norma sosial  didasarkan pada saling pengertian  tentang maksud pihak yang terlibat dalam komunikasi , yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati.  Keenam hal ini justeru diperlukan dalam model penelitian interdisipliner, karena jalinan komunikasi antar ilmuwan yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda namun mempunyai konsensus yang sama untuk menghadapi masalah secara bersama.
Membangun model penelitian interdisipliner membutuhkan prasyarat tertentu yang meliputi antara lain: Pertama, ada masalah tertentu yang dipandang perlu diselesaikan secara bersama. Artinya dimungkinkan terjadinya kerjasama antar disiplin ilmu, antar peneliti, dan antar metode. Ketiga bentuk kerjasama ini punya tujuan yang sama, tetapi polanya bisa berbeda-beda.
Kedua, sentral pemikiran tetap terfokus pada nilai (value) yang terkait dengan manusia (antroposentris), Tuhan (Theosentris), dan alam (kosmosentris) kalau peneiliti ini mau dikatakan bersifat filosofis. Mukti Ali menjelaskan bahwa soal tata nilai merupakan hal yang amat asasi bagi suatu masyarakat, karena menyangkut makna dan dimensi kedalaman kehidupan manusia. Dalam tata nilai terkandung cita maknawi yang menjadi tujuan dan pedoman manusia dalam berbuat dan melakukan suatu perbuatan. Tata nilai juga mendasari alam pikiran dan tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat dalam memahami, menafsirkan, dan menghayati dunia dan lingkungannya. (1981: 321-322).
 Ketiga, metode yang dipergunakan harus disepakati terlebih dahulu, namun tetap membutuhkan interpretasi untuk membangun semangat komunikasi di antara pihak peneliti yang terlibat. Interpretasi yang dimaksud di sini bukan semata-mata penafsiran yang bersifat sepihak, namun ada nuansa intersubjektif.
Keempat, langkah-langkah metodis yang ditempuh (induksi, deduksi, abduksi, sintesis, analisis, komparasi, heuristika, interpretasi, refleksi) senantiasa ditempatkan sebagai pisau analisis yang bersifat proporsional. Artinya komponen-komponen tersebut hadir dan mengalir di seluruh semangat penelitian, tanpa mengabaikan aturan main yang khas dalam model penelitian  ilmiah yang dipilih pihak peneliti.
Toety Herati menegaskan bahwa penelitian ilmiah tidak bisa dilepaskan dari masalah metodologis. Metodologi merupakan bidang yang mengkhususkan pada bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan  dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai perpaduan  sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48).
Menarik untuk dicermati usaha yang dilakukan oleh Chalmers (1983) dalam karyanya What is this thing is called Science? Penelusurannya tentang Sejarah Filsafat Ilmu menunjukkan bahwa metode induksi yang selama ini didewa-dewakan dalam panggung dunia ilmiah ternyata mengandung berbagai kelemahan yang perlu dikoreksi secara metodologis. Dalam karyanya itu ia mengetengahkan falsifikasionisme Popper, Program Riset Ilmiah dari Lakatos, Revolusi ilmu Thomas Kuhn, dan gagasan anti metodologi (anarchistik) dari Feyerabend. Oleh karena itu penelitian interdisipliner dalam filsafat perlu mempertimbangkan paradigma Popper, Lakatos, Kuhn, dan Feyerabend untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Filsafat merupakan salah satu bidang ilmu yang paling berpeluang untuk menjalin kerja sama dengan disiplin ilmu lain, meskipun julukan Mother of Science hanya tinggal dalam museum sejarah ilmu. Hal ini dimungkinkan lantaran seluruh objek ilmu pengetahuan dapat disentuh dan ditelusuri nilai-nilai filosofisnya. Meskipun ilmu pengetahuan dewasa ini sangat luas dan mendalam, namun menurut The Liang Gie (1998: 21-22) berdasarkan 6 pokok soal yang menjadi sasarannya, ilmu dapat dibedakan menjadi 6 rumpun ilmu, yaitu: Ilmu Pengetahuan Pasti, Ilmu Pengetahuan Kebendaan, Ilmu Pengetahuan Hayati, Ilmu Pengetahuan Kejiwaan, Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Ilmu pengetahuan Kebahasaan. Masih ditambah satu yakni Ilmu Pengetahuan Antar Bidang yang mempunyai 4 corak perwujudannya, yakni: Interdisciplinary, multidispilinari, pluridisciplinary, dan transdisciplinary science. Rumpun terakhir inilah yang dibahas dalam makalah ini, khususnya interdisciplinary science.

B.     Pembahasan
1.      Klarifikasi Istilah
Dalam dunia ilmu, penggunaan istilah acapkali menimbulkan kesalahpahaman, sehingga terjadi perbedaan dan perdebatan yang tidak perlu dan menyita waktu. Demikian pula halnya dengan beberapa istilah yang terkait dengan kerja sama antar disiplin ilmu. Ada empat istilah yang pengertiannya sering  tumpang tindih (over-lapping), yaitu interdispliner, multidipliner, pluridisipliner, dan transdisipliner.Untuk memperoleh klarifikasi tentang pengertian istilah-istilah tersebut di atas, The Liang Gie dalam bukunya Lintasan Sejarah Ilmu (1998:114) membuat perbedaan sebagai berikut.
Interdisciplinary science ialah ilmu antar cabang yang merupakan saling kait dari 2 cabang ilmu yang berbeda seperti: ilmu Kimia Hayati (Biochemistry) atau Ilmu Keinsinyuran Pertanian (Agricultural Engineering). Saling kait yang dimaksud dalam interdipliner ialah membangun semangat kebersamaan antar disiplin ilmu yang berbeda untuk memecahkan persoalan baru yang dipandang penting. Manakala diterapkan dalam penelitian (Interdisciplinary research), maka ilmu Filsafat sangat berpeluang bekerjasama dengan disiplin ilmu lain untuk memecahkan satu pokok persoalan yang sama-sama dipandang penting. Mukti Ali menunjukkan kasus sama yang pernah terjadi dalam penelitian interdisipliner antara agama dengan ilmu sosial, yakni penelitian dan pengamatan sosial melukiskan situasi konkret, sedangkan refleksi agamis ditempatkan dalam keseluruhan proses penelitian. (1989: 328). Persoalan yang muncul disini ialah: metode disiplin ilmu mana yang dominan diantara keduanya yang dipakai untuk memecahkan pokok persoalan yang diteliti? Hal ini yang akan dibahas dalam kajian lebih lanjut.
Multidisciplinary science ialah ilmu aneka cabang yang dua atau beberapa disiplin ilmu yang berbeda hanya seolah-oleh dijejerkan secara berdampingan tanpa menunjukkan pertalian yang cukup penting. Contoh:Ilmu Arsitektur Kapal (naval architecture) dan Ilmu Keinsinyuran Mesin Kapal (marine engineering). Manakala diterapkan dalam peneltian (Multidisciplinary research), maka bisa terjadi ilmu filsafat dijejerkan dengan ilmu Ekonomi misalnya, tanpa menunjukkan pertalian yang cukup penting, sehingga melahirkan penelitian tentang Filsafat Ekonomi. Ilmuwan ekonomi hanya memandang filsafat seadanya, demikian pula ilmu filsafat hanya menganggap kajian ekonomi sebagai kajian yang terlepas nilai filosofisnya. Kendatipun objek materialnya tetap fokus pada masalah ekonomi, namun objek formalnya boleh jadi filsafat, meski hanya sebagai pelengkap tanpa peran penting yang cukup jelas tentang bagaimana kontribusi ilmu Filsafat terhadap bidang Ekonomi.
Pluridisciplinary science ialah ilmu ragam cabang yang menggabung dua cabang ilmu yang berbeda, sehingga terjadi pertalian meskipun agak longgar. Contohnya Ilmu Linguistic Anthropology yang menggabungkan Ilmu Manusia dengan Ilmu Bahasa dengan perhatian khusus pada bahasa sebagai ciri pembeda yang utama antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Manakala diterapkan dalam penelitian (Pluridisciplinary research), maka Filsafat juga bisa berkolaborasi dengan linguistik, sehingga menghasilkan penelitian tentang Filsafat Linguistik, namun pertaliannya lebih longgar karena kajian lebih terfokus pada masalah linguistik. Contoh karya Paul Chauchard yang berjudul Le Langage et La Pensee (Bahasa dan Pikiran) merupakan suatu bentuk pluridisipliner yang meneliti hubungan antara pembentukan bahasa dengan pembentukan pikiran manusia.
Transdisciplinary science ialah ilmu lintas cabang yang dua bidang ilmu yang berbeda dilebur dengan menetapkan suatu kumpulan patokan pikir bersama yang berlaku bagi kedua disiplin ilmu tersebut. Contoh: Library and Information Sciences (Ilmu Perpustakaan dan Informasi). Patokan pikir bersama dalam hal ini ialah kerangka teoritis dan metodologi, artinya peleburan dua atau beberapa disiplin ilmu dalam lintas cabang mengandung konsekuensi teoritis dan metodologis, berbeda halnya dengan tiga bentuk perpaduan ilmu sebelumnya (interdisiplin, multidisiplin, dan pluridisiplin). Disiplin ilmu Filsafat yang lebur dengan disiplin ilmu lain (ilmu Hukum) melahirkan Filsafat Hukum yang memiliki patokan pikir bersama yang tumbuh seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu Hukum. Penelitian tentang Filsafat Hukum dewasa ini lebih banyak dilakukan oleh para ahli hukum itu sendiri, kendatipun sebagian kecil masih dilakukan oleh para ahli filsafat.

2.Aturan Main  Penelitian Interdisipliner Dalam Filsafat
Adakah aturan main dalam kerja sama penelitian  ilmu antar cabang? Kalau ada Rule of the games dalam penelitian interdispliner, bagaimana langkah awal dalam membangun keterkaitan di antara dua atau beberapa disiplin ilmu yang berbeda tersebut? Aturan main tentu selalu ada, hanya acapkali dibuat secara tidak tertulis atau lebih bersifat konsensus semata. Namun itu jauh lebih baik daripada kerjasama yang dibuat secara arbitrer, sehingga hasil penelitian pun menjadi kabur karena tidak mencerminkan bentuk kerja sama yang saling kait antar cabang. Beberapa aturan main yang perlu diperhatikan dalam penelitian interdisipliner dalam Filsafat adalah sebagai berikut.
Pertama, perlu disepakati judul penelitian yang mencerminkan kerja sama antar cabang, sehingga tidak hanya menggambarkan satu disiplin ilmu tertentu. Contoh: Nilai-nilai Filsafat Ilmu Dalam Program Studi Ilmu Pemerintahan.
Kedua, latar belakang masalah yang akan diangkat dalam penelitian lebih bersifat deskriptif ataukah esensial. Penentuan dan pemilihan masalah yang akan diangkat dalam penelitian sangat menentukan tingkat kedangkalan atau kedalaman hasil sebuah penelitian.
Ketiga, tujuan penelitian lebih kepada upaya melakukan inventarisasi, evaluasi kritis, sintesis, ataukah interpretasi baru terhadap pokok permasalahan yang diteliti.
Keempat, metodologi yang dipergunakan dalam penelitian harus disepakati melibatkan kedua disiplin ilmu, tentu saja dengan tahap-tahap sistematis yang jelas.

3. Langkah Persiapan Dalam Penelitian Filsafat
Kaelan (2005:100) menyatakan bahwa langkah penelitian merupakan suatu manifestasi cara berpikir ilmiah, sistematis, dan objektif. Ia membedakan tahap pra penelitian atau sebelum penelitian dimulai dengan tahap penelitian itu sendiri. Pada tahap pra penelitian hal yang perlu dilakukan ialah studi eksploratif untuk mencari masalah penelitian. Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Suatu penelitian ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk dipecahkan oleh seorang peneliti. Masalah bisa ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca, sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiosity) yang lebih besar terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas suatu fokus permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa  oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Permasalahan dalam penelitian filsafat lebih difokuskan pada hal-hal berikut. Pertama,  masalah nilai filosofis yang terkandung dalam aliran pemikiran tertentu seperti: aksiologi, epistemologi, dan ontologi. Kedua, problem-problem abadi (perennial problems)  yang selalu muncul dalam setiap kurun waktu seperti: masalah kebebasan, keadilan, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan lain-lain. Ketiga, masalah metodologis yang banyak diperdebatkan di kalangan filsuf ilmu seperti: verifikasi, falsifikasi, anarchisme ilmu, revolusi ilmiah, paradigma ilmiah, program riset ilmiah. Keempat, masalah penafsiran atas teks atau naskah filosofis yang memerlukan reinterpretasi karena seiring dengan perkembangan zaman. Kelima, masalah sistem nilai yang berkembang di masyarakat seperti: gaya hidup konsumtif, hedonistik, spiritualistik. Keenam, masalah aktual yang mengundang perdebatan di masyarakat seperti: Euthanasia, kloning, korupsi.     
Pada tahap awal penelitian beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius antara lain: judul penelitian, tujuan penelitian, hipotesis (asumsi pokok) yang dikembangkan, langkah metodis yang dipilih sebagai pisau analisis atas masalah yang diangkat dalam penelitian.

4.      Beberapa Model  Penelitian Ilmu Filsafat
Model penelitian ilmu filsafat pada prinsipnya setara dengan disiplin ilmu lain, hanya ada karakteristik tertentu yang membedakannya satu sama lain. Titik perbedaan utama tentunya terletak pada objek formal atau cara pandang terhadap objek material yang diteliti. Bakker dan Charris (1990: 57-60) menawarkan beberapa model penelitian ilmu filsafat sebagai berikut.


Cycle Diagram


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam model historis-faktual (Lihat Bakker dan Charris, 1990: 65-66) ini antara lain meliputi: Pertama, data dan pengolahannya harus dilakukan dengan sejujur dan seobjektif mungkin, tanpa tergesa-gesa memasukkan konsepsi pemikiran peneliti ke dalam tahap awal penelitian. Meskipun hal ini tidak selalu mudah, namun objektivitas tetap merupakan kunci bagi penelitian ilmiah. Kedua, si peneliti harus sudah memiliki modal atau kisi-kisi atau landasan pemikiran filosofis yang kuat (sistematis dan historis), sehingga dapat menangkap alur pemikiran tokoh, karya, atau naskah yang dijadikan objek penelitian. Ketiga, peneliti harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan daya sintesis yang menyatukan semua unsur dalam satu sistematika penelitian yang teratur. Keempat, peneliti harus rajin menghimpun kepustakaan, baik yang merupakan sumber primer maupun sekunder, sehingga penelitian tidak mandeg lantaran kekurangan data atau informasi yang dibutuhkan. Kelima, kalau penelitian terkait dengan teks atau naskah, maka si peneliti harus bisa memastikan keaslian teks dan bisa memberikan terjemahan dan interpretasi yang adekuat. Oleh karena itu harus ada keahlian khusus  dalam hal bekerja dengan naskah kuno atau bisa saja meminta pertolongan kepada ahli naskah kuno.
Cycle Diagram
Dalam penelitian model pertama ini terbuka peluang untuk interdisipliner, misalnya penelitian tentang naskah Jawa Kuno (Serat Cebolek, Widayat Jati, Dharmo Gandhul,dll). Seorang ahli filsafat belum tentu bisa memahami teks jawa kuno, sehingga memerlukan bantuan ahli bahasa atau seorang filolog. Pengalihbahasaan, pemahaman, dan penghayatan (verstehen) atas naskah kuno hanya bisa dilakukan oleh ahlinya, oleh karena itu serahkan segala sesuatu kepada ahlinya.
Hal yang penting diperhatikan dalam penelitian ilmu filsafat model kedua ini antara lain. (Lihat Bakker dan Charris, 1990: 82) paling tidak si peneliti memiliki kepekaan khusus atas historisitas dan kausalitas historis terhadap isu pokok yang diangkat dalam penelitian. Misalnya konsep keadilan yang dikembangkan sepanjang sejarah pemikiran filsafat mengalami perkembangan yang cukup berarti, walaupun tetap ada hal yang bersifat substansial tentang perihal keadilan tersebut. Disini pun terbuka peluang penelitian interdisipliner, misalnya tentang keadilan bisa bekerja sama dengan ahli hukum dan atau ahli ekonomi. Karena, baik dalam hukum maupun dalam ekonomi, masalah keadilan merupakan isu pokok yang sering dikaji. Tema tentang kebebasan bisa dikembangkan dalam bentuk kerjasama dengan ahli ilmu politik atau psikologi. Misalnya:
1.      Makna Kebebasan Dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Politik.
2.      Makna Kebebasan Eksistensial Dalam Kepribadian Manusia: Sebuah Tinjauan Filsafat Manusia.
Cycle Diagram
Hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian model ketiga ini (Bakker dan Charris, 1990: 88). Pertama, perlunya pemahaman filosofis yang kuat, baik historis maupun sistematis tentang tokoh atau aliran yang diperbandingkan. Sebab bisa jadi peneliti melakukan studi komparasi atas aliran filsafat yang tidak sesuai dengan sistematika filsafati, misalnya: membandingkan aliran Pluralisme dalam  Metafisika dengan aliran Deontologis dalam Etika. Kedua, si peneliti harus memiliki objektivitas yang seimbang (netral)  atas kedua tokoh atau aliran yang diperbandingkan. Keberpihakan sejak awal terhadap tokoh atau aliran tertentu dapat merusak semangat objektivitas ilmiah. Dalam model ketiga ini pun terbuka peluang untuk interdisipliner, karena tokoh yang dibandingkan bisa dikenal dan pemikirannya mewarnai disiplin ilmu lain, misalnya: Marx disamping seorang filsuf, juga dipandang sebagai ekonom dan sosiolog, bahkan ahli politik.

Cycle Diagram

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam model penelitian keempat ini adalah sebagai berikut. (Lihat Bakker dan Charris, 1990: 97). Pertama; perlunya ketelitian dan objektivitas terhadap data, mengingat pengumpulan data di lapangan memerlukan keterampilan tersendiri, dan peluang interdisipliner sangat terbuka dalam model penelitian keempat. Kedua; perlunya si peneliti memahami sifat perbedaan antara data antropologis, sosiologis, politis, dan filsafat, sehingga semangat kerja sama dalam penelitian yang interdisipliner dapat dibangun secara sistematik. Ketiga; peneliti harus mampu membaca dan memahami filsafat tersembunyi yang ada di balik data empiris yang dihimpun, sekaligus memahami struktur pokok yang lazim berlaku dalam disiplin ilmu tertentu. Disini sangat terbuka peluang kerjasama antar disiplin ilmu, karena pada tahap awal kerja dan metode ilmu empirik diperlukan. Misalnya: Penelitian tentang Persepsi Terhadap Pancasila Pada Generasi Muda yang dilakukan oleh Pusat Studi Pancasila UGM. Penelitian tersebut kerja sama antara ahli Filsafat dengan ahli Psikologi yang cukup banyak menaruh perhatian terhadap masalah persepsi.

Cycle Diagram
Hal yang paling  perlu diperhatikan dalam model penelitian kelima ini adalah. (Bakker dan Charris, 1990: 105) kebutuhan lebih banyak akan informasi dari tokoh lain dan disiplin ilmu lain  sebagai mitra dialog dan perbandingan. Dalam model inipun terbuka peluang interdisipliner, karena masalah bahasa, agama, dan politik dikuasai secara khusus oleh ilmu-ilmu cabang. Misalnya: Univok dan Equivok Dalam Bahasa Agama: Tinjauan Filsafat Analitik.   

Cycle Diagram
Masalah aktual artinya masalah yang hangat dibicarakan masyarakat dengan mengundang pro dan kontra. Misalnya: penelitian tentang masalah kloning yang merupakan kajian dalam bio-teknologi –otomatis sudah merupakan penelitian interdisipliner antara biologi dan teknologi—namun masih memungkinkan sentuhan filosofis, terutama pada segi dan pertimbangan kemanusiaan. Demikian pula masalah euthanasia, dunia medis masih memerlukan sentuhan nilai relijius dan filosofis untuk menganalisis kematian yang dikehendaki oleh pasien.

5.Beberapa Kaidah  Metodologi Filsafat
Sejak awal harus disadari oleh si peneliti bahwa setiap disiplin ilmu memiliki kekhasannya masing-masing, termasuk dalam masalah metodologi. Prinsip penting yang perlu ditanamkan disini ialah metode harus menyesuaikan diri dengan bidang ilmu yang ditelaah, bukan sebaliknya. Sebab manakala bidang ilmu yang menyesuaikan diri dengan metode, bisa terjadi metodolatri, yakni pengkultusan terhadap metode. Beberapa kaidah metodologi filsafat yang bisa dipertimbangkan oleh peneliti filsafat meliputi antara lain:
No
Jenis Metodologi
Filsuf
Kaidah Pokok Metodis
Keterangan
1
Skeptis-Metodis
Rene Descartes
  1. Mulailah dengan meragukan segala sesuatu sampai diperoleh kepastian
  2. Klasifikasi persoalan sehingga hal yang sederhana terpisahkan dengan hal yang rumit.
  3. Pecahkan masalah dari hal yg sederhana, bertahap dari yang sederhana hingga hal yang paling rumit.
  4. Cek kembali jangan sampai ada hal yang terabaikan
Langkah metodis Descartes ini bersifat deduktif, karena peneliti harus mencari atau menemukan hal yang meyakinkan dulu sebelum terjun ke dalam pemecahan masalah.
2
Analitika Bahasa
Ludwig Witgenstein
Pada periode pertamanya (Tractatus) menawarkan langkah metodis berupa:
  1. Klarifikasi bahasa melalui prinsip verifikasi antara statemen dengan fakta (Proposisi empirik).
  2. Menganalisis bahasa secara logis (proposisi logis/analitik.
  3. Di luar wilayah itu dianggap meaningless.
Pada periode keduanya (Philosophical Investigations) menawarkan langkah metodis berupa:
  1. Meneliti dan membedakan aturan permainan dalam Language-games.
  2. Therapi atas penggunaan bahasa yang kacau dan tidak semestinya.
  3. Mendeskripsikan jalannya bahasa.
Wittgenstein I cenderung pada bahasa logika, sedangkan Wittgenstein II cenderung pada bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
3
Falsifikasi
Karl Popper
  1. Hipotesis dan teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara
  2. Peneliti berupaya menemukan kesalahan atas hipotesis atau teori yg diteliti.
  3. Ia cenderung menerima deduksi daripada induksi, karena kesalahan dari teori dapat disimpulkan dari pembuktian empirik, dan penyimpulan ini murni deduksi.
  4. Kalau tidak ditemukan kesalahan, maka teori mengalami Corroboration.
Popper menentang prinsip verifikasi yang bersifat afirmatif , seolah membuang dugaan bahwa teori bisa salah.
4
Program Riset Ilmiah
Imre Lakatos
  1. Hard Core; asumsi dasar yang menjadi inti dasar program untuk dikembangkan.
  2. protective belt; hipotesis pendukung sebagai pelengkap inti pokok berupa asumsi yang mendasari kondisi awal.
  3. Negative Heuristic; program penetapan asumsi dasar (hard core) yang melandasi suatu program riset yang terlindungi dari ancaman falsifikasi
  4. Positive Heuristic; program penetapan asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena yang telah ada atau meramalkan fenomena baru  dengan melengkapi Hard core.

Kaidah medologis Lakatos ini bisa berlangsung dalam ilmu yang sudah matang (Maturity of Science), sedangkan dalam ilmu yang Immaturity of science berlaku kaidah Trial and error.
5
Anarkhisme
Feyerabend
  1. Tidak ada validitas bagi satupun metodologi untuk menjadi hukum universal yang mapan.
  2. Semua metodologi mempunyai keterbatasan., sehingga satu-satunya hukum yang  bertahan adalah anything goes!
  3. Berlakunya prinsip Incommensurability, artinya If two scientific theories are incommensurable, there is no way in which one can compare then to each other in order to determine which is the better.

  1. Unsur subjektif memang ada tetapi terbuka untuk dikritik dan diubah dengan argumentasi dan kondisi materiil
  2. Kebebasan Ilmuwan tetap dibatasi kondisi fisik, psikologis, sosiologis dan historis secara objektif.



Prinsip anarchisme ini  merupakan bentuk penegasan tidak adanya satu metodologi yang berlaku secara mutlak bagi beberapa atau semua disiplin ilmu.
6
Historis-hermeneutis
JĒ–rgen Habermas
  1. Substansi filsafat terletak pada bahasa
  2. Melakukan interpretasi yang terarah pada orientasi tindakan manusia
  3. Kepentingan subjektif merupakan hal yang tak terhindarkan.
Peluang kerja sama antar disiplin ilmu sangat terbuka, baik dengan rumpun Ilmu analitik-empiris maupun Ilmu sosial-kritik

6.      Perilaku Peneliti Interdisipliner

Khusus dalam penelitian interdisipliner sendiri ada beberapa hal yang menunjukkan perilaku si peneliti yang dalam batas-batas tertentu memang diperkenankan. Pertama, ada seorang peneliti yang sudah menerapkan interdisipliner dalam penelitiannya, karena ia sendiri menguasai atau memiliki latar belakang pendidikan yang beragam, sehingga memungkin hal itu terjadi. Kedua, ada dua atau beberapa peneliti berasal dari disiplin ilmu yang memang berbeda, yang membuat kerja sama untuk memecahkan masalah yang sama dengan masing-masing menyumbangkan kemampuan metodologinya. Ketiga, ada dua atau beberapa institusi yang bekerja sama dengan menunjuk pelaku penelitian untuk menjalin kerja sama antar disiplin ilmu, sehingga hasil yang diharapkan menjadi lebih baik.

7.      Penutup
Model penelitian interdisipliner dalam ilmu filsafat merupakan sebuah kegiatan yang hampir bersifat niscaya, karena peluang untuk bekerja sama dengan hampir seluruh disiplin ilmu mana pun sangat terbuka. Persoalan yang perlu dipikirkan dan direnungkan ialah: Pertama; kesiapan mental ahli filsafat itu sendiri untuk membuka diri atas realitas yang berkembang di luar dirinya, agar tidak terjadi seperti apa yang disindirkan Wittgenstein II dengan pernyataan yang berbunyi: “To shew the fly the way out of the fly-bottle”. (PI, sect.309). Kedua; kesiapan metodologis ahli filsafat itu sendiri untuk mampu menangkap secara tepat, langkah metodis apa yang sekiranya sesuai untuk dipergunakan dalam penelitian interdisipliner tersebut. Ketiga; kearifan dalam berkomunikasi dengan ilmuwan dari disiplin ilmu lain mutlak diperlukan, sehingga faktor mau menang sendiri (solipsistic) harus dihindarkan sejauh mungkin. Keempat; penelitian yang dilakukan sendiri selalu lebih memuaskan dilihat dari segi proses belum tentu hasilnya, namun penelitian yang dilakukan secara bersama lebih memuaskan dari segi hasilnya belum tentu prosesnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti.,1981, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Rajawali Pers, Jakarta.
Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and Row Publishers, Albuquerque.
Bakker, Anton dan Charris Zubair, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Chalmers, A.F., 1983, Apa itu yang Dinamakan Ilmu?( What is this thing is called Science)?, terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, Jakarta.
Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.
Kleden, Ignas., 1987., Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.
Mustansyir, Rizal, dan Misnal Munir., 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nasoetion, Andi Hakim., 1989, Pengantar Ke Filsafat Sains, Litera Antarnusa, Bogor.
Smith, Newton,W.H., 1996, The Rationality of Science, Routledge, London.
Toety Herati., 1984, “Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi Ilmu-ilmu Sosial”, dalam Krisis Ilmu-ilmu Sosiall Dalam Pembangunan Di dunia Ketiga, Penyunting: A.E.Priyono dan Asmar Oemar Saleh, PLP2M, Yogyakarta.
Wittgenstein, Ludwig., 1963, Tractatus Logico-Philosophicus, Routledge and Kegan Paul Ltd, London.
--------------------------.,  1983, The Philosophical Investigations, Routledge and Kegan Paul Ltd, London.