Selasa, 08 November 2011

Konsep Urang Sabana Urang dalam Pepatah Adat Minangkabau

KONSEP URANG SABANA URANG DALAM PEPATAH ADAT MINANGKABAU

Peneliti:
1.      Rizal Mustansyir
2.      Misnal Munir


INTISARI
            Penelitian tentang konsep Urang sabana urang dalam Pepatah Adat Minangkabau ini merupakan penelitian kepustakaan. Pemahaman atas jati diri orang Minang sebagaimana yang termaktub dalam pepatah itu mulai mengalami gesekan dengan pengaruh dari luar, terutama dengan semakin kerasnya arus globalisasi. Oleh karena itu diperlukan penafsiran ulang atas Konsep Urang sabana Urang dalam Pepatah Adat Minangkabau dalam rangka melestarikan kearifan local yang telah diwariskan generasi terdahulu.
            Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode Hemrneutika-reflektif, khususnya alur teori hermeneutika Wilhelm Dilthey. Dilthey menekankan 3 unsur metodis yang penting dalam hermeneutika, yaitu erlebnis, ausdruck, dan  verstehen.
            Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pemahaman tentang Filsafat Hidup Minangkabau itu merupakan proses umum yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, sebagaimana yang terungkap dalam pepatah adat Minangkabau.
Kedua;  bahwa konsep Urang sabana urang masyarakat Minangkabau itu terungkap dalam pepatah petitih Minangkabau yang dalam terminologi Dithey merupakan ausdruck, ekspresi pengalaman hidup dan historisitas masyarakat Minangkabau.
Ketiga; karakter manusia ada enam macam manusia, yaitu orang, orang-orang, orang yang tampan, orang yang angkuh, orang-orangan,  orang yang sebenar-benar orang.
Keempat; pemahaman atas konsep urang sabana urang dalam verstehen  masyarakat Minangkabau adalah orang yang memiliki karakter seperti: mengetahui awal dan akhir, lahir dan batin, punya rasa malu dan sopan, memiliki sifat cerdik cendekia, arif bijaksana, berbudi tinggi, banyak ilmu, menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya.
Kelima; pengaruh globalisasi dan budaya hidup modern ikut mempengaruhi cara pandang masyarakat Minangkabau tentang konsep urang sabana urang, sehingga diperlukan reinterpretasi atas konsep tersebut agar dapat dipahami dengan baik oleh generasi muda Minang yang tercerabut dari akar budayanya.

Kata Kunci: urang sabana urang, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah


A.    LATAR BELAKANG
                                                                                                                
Masyarakat Minangkabau adalah suatu kelompok etnik atau suku yang mendiami wilayah Propinsi Sumatera Barat. Sebagaimana halnya dengan masyarakat Indonesia lainnya di wilayah nusantara ini, masyarakat Minangkabau memiliki sistem nilai budaya yang telah diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Masyarakat dan kebudayaan Minangkabau memiliki filsafat dan pandangan    hidup (Weltanschauung atau Way of life) yang terekspresikan dalam pepatah petitih adat yang menjadi acuan hidup mereka. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa nilai-nilai kehidupan yang mereka yakini itu adalah prinsip hidup yang abadi dan langgeng, yang terkenal dengan ungkapan "tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan." Melalui pepatah-petitih dan pantun-peribahasa itu, akan  ditemukan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang dijadikan dasar dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
Adat dan kebudayaan Minangkabau pun menerima prinsip-prinsip pembaruan
dengan orientasi: change and stability.
Sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan itu adalah filosofi dasar dan  prinsip-prinsip dasar, yang kalau "dibubut layu, diasak mati." Seperti prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan di atas, tanpa itu dia tidak bernama Minangkabau lagi. Ini yang dinamakan dengan: "Adat nan sebenar adat." Selain itu, prinsipnya adalah: "Sekali air gadang sekali tepian berubah." Termasuk ke dalamnya adalah ketiga kategori adat lainnya, masing-masing "Adat nan diadatkan," "adat-istiadat" dan "adat nan teradat." Keempat adat itu berjejer dalam satu garis kontinum, dari yang sama sekali tidak bisa berubah menuju ke yang setiap kali bisa berubah sesuai dengan tuntutan masa dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam kenyataan empirisnya, bagaimana pun, adat dan kebudayaan Minangkabau telah mengalami nasib yang sama seperti dialami Islam di masa sebelum kebangkitan ini. Nasib yang sama sekarang juga cenderung dialami oleh konstitusi 1945 sendiri, yang dari satu sisi sesungguhnya adalah refleksi dari budaya sintesis Minangkabau. Ide-ide tentang kedaulatan rakyat, musyawarah, kebersamaan, keadilan, ekonomi kekeluargaan, dan sebagainya banyak diilhami ataupun ditimba dari khasanah kebudayaan Minangkabau melalui suara dan pemikiran tokoh-tokoh pendiri republik, yang kebetulan berasal dari bumi Minangkabau ini seperti: Mohammad Hatta, Agus Salim.
Sebagai sebuah ideologi budaya, dia indah untuk disebut-sebut, dan kedengarannya ideal sekali untuk diperkenalkan ke masyarakat dunia untuk diterapkan di masa-masa mendatang. Tapi, masyarakat Minangkabau sendiri sekarang sudah tidak lagi tertarik dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sifatnya demokratis, egaliter, terbuka, resiprokal, sentrifugal itu. Atau, mereka sebenarnya masih merindukannya, namun dunianya terkurung oleh sistem budaya yang lebih dominan yang berlawanan dengan itu, terutama pengaruh budaya global.
  Di samping itu, proses pengeroposan budaya pun terjadi, sehingga yang dipraktekkan oleh orang-orang Minangkabau terhadap adat dan kebudayaan mereka sendiri tinggal kulit-kulit luarnya yang lebih bersifat seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Hal ini telah ditengarai oleh Syafii Ma’arif yang mengatakan bahwa adat kebudayaan Minangkabau menjadi gersang, akibatnya nilai-nilai budaya berupa keramahan dan sifat suka menolong sudah punah dan jauh dari sikap manusia Minangkabau pada umumnya. (Syafii Ma’arif, 2005).
Orang Minangkabau sendiri, terutama generasi mudanya, mulai melihat aneh kepada nilai budaya aslinya. Melalui proses pendidikan dengan sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah atau di luar sekalipun, sekarang mereka telah menjadi orang Indonesia tapi dengan konotasi yang seperti itu. Kini sukar diharapkan mereka yang akan membawakan konsep demokrasi egaliter dengan keterbukaan dan segalanya itu ke dunia luar ketika mereka sendiri tidak lagi mengenal dan mengerti, apalagi menghayati, sistem budaya itu sendiri.
Dengan berbagai permasalahan yang timbul dalam budaya Minangkabau, maka mereka tidak bisa berbuat hanya dengan menyebut-nyebut saja, tapi harus menuangkan tekad itu ke dalam program yang jelas, seperti di bidang ekonomi dan pendidikan, di bidang kebudayaan dan di bidang filsafat. Reorientasi budaya Minangkabau saat ini sangat diperlukan, yaitu dengan cara mengeksplisitasikan nilai-nilai filsafat dalam Budaya Minangkabau tersebut, sehingga pepatah tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar terwujud dalam kenyataan. Pepatah petitih adat Minangkabau yang sarat makna tidak  hanya sebagai lipservice, tetapi perlu penghayatan dan penggalian makna yang lebih serius. (Syafii Ma’arif:2005). Dengan mengekplisitasikan nilai-nilai filsafat dalam budaya Minangkabau secara sistematik melalui suatu penelitian dan menuliskannya dalam suatu naskah yang dapat dibaca oleh berbagai pihak, maka nilai-nilai filsafat dalam budaya Minangkabau itu akan terdokumentasikan untuk kemudian dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut oleh generasi yang akan datang. Dengan demikian upaya menemukan makna atas tujuan hidup masyarakat Minangkabau merupakan sebuah penelitian yang sangat penting, tidak hanya dalam rangka menyusun sistematika filsafat hidup, melainkan menghidupkan kembali way of life masyarakat Minangkabau yang mampu berperan sebagai pedoman hidup bersama.
Dalam pemikiran Sastrapratedja (2009:2) fungsi filsafat itu dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu pertama; filsafat mempertanyakan dan mencari dasar tentang segala sesuatu. Hal ini telah dilakukan para filsuf Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang arche. Kedua; filsafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari realitas sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia. Ketiga; filsafat berfungsi sebagai kritik ideologi. Penelitian ini lebih relevan dengan fungsi filsafat kedua, yakni mempertanyakan, mencari, dan menemukan makna realitas sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia Minangkabau dalam rangka memperkaya mozaik kearifan lokal dalam wadah Filsafat Nusantara .

B.     PEMBAHASAN

  1. Filsafat Sebagai Pandangan Hidup
Setiap kebudayaan tentu memiliki suatu prinsip-prinsip filsafat sebagai pegangan kehidupan pribadi maupun masyarakat. Prinsip-prinsip filsafat ini biasanya dinamakan dengan istilah pandangan hidup, “way of life”, atau “weltanschauung”. Dalam filsafat, pandangan hidup ini disebut dengan filsafat dalam artian informal. Titus dkk. (1984: 11) mengatakan bahwa filsafat dalam artian informal adalah sekumpulan sikap atau kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat dalam artian informal ini biasanya menjadi landasan bagi indidividu atau kelompok menjalani kehidupan dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupannya.
Pandangan hidup lahir dari hasil perenungan yang kemudian menjadi sistem nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kattsoff (1986:12) mengatakan bahwa perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia dan tempat kita hidup maupun diri kita sendiri. Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Menurut sudut pandangan ini, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum. Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, tidak ada sesuatu pun yang berada di luar jangkauannya. Suatu sistem baru dianggap memadai jika memuat penjelasan tentang semua gejala. Secara singkat, perenungan kefilsafatan berusaha memahami segenap kenyataan dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia (Jerman: Weltanschauung) atau pandangan hidup (Inggris: Way of life) yang memberikan keterangan tentang dunia dan semua hal yang ada di dalamnya.
Filsafat sebagai pandangan hidup dalam suatu masyarakat tertentu dapat ditemukan dalam kebudayaan. Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan tidak hanya mencakup hasil-hasil material seperti karya seni, ilmu pengetahuan, alat-alat, pakaian, melainkan juga termasuk cara menghayati kematian, cara melaksanakan perkawinan, dan sebagainya. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu-ilmu alam dan teknologi). Kebudayaan bukanlah sesuatu yang beku dan jadi, melainkan sesuatu yang senantiasa dalam proses dan perubahan. Bagaimana pun dinamisnya suatu kebudayaan, sebagai produk manusiawi kebudayaan dapat diselidiki. Artinya kebudayaan bukanlah suatu gejala yang melulu berubah secara mendasar, melainkan juga membekas dalam pola-pola tertentu. Pola-pola ini dapat diamati dan dijabarkan dalam bentuk sebuah paparan (Mudji-Sutrisno,2008:6-8).
            Clifford Geertz dalam bukunya Interpretation of Culture sebagaimana disitir Irwan Abdullah, mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Kebudayaan itu merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap kehidupannya (Irwan-Abdullah, 2006:1).

2.  Sepintas Kebudayaan Minangkabau
Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah (Navis, 1986:1) Prinsip-prinsip Kebudayaan Minangkabau itu dapat ditemukan dalam “Tambo” yang secara turun-temurun diwariskan melalui penuturan (lisan). Tambo adalah suatu karya sastra sejarah, suatu karya sastra yang menceritakan sejarah (asal usul) suku bangsa, asal usul negeri dan adat istiadatnya, yaitu Minangkabau. Karya sastra sejarah ini dapat juga disebut historiografi tradisional, penulisan sejarah suatu negeri berdasarkan kepercayaan masyarakat turun temurun (Edwar-Djamaris, 1991:1).
Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan dalam lingkungannya. Artinya adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, sehingga setiap pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain (Rajo Penghulu; 1994:13)
Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai kelompok masyarakat yang mencontoh harmoni sistem hukum alam. Artinya, mereka dapat diibaratkan dengan semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya. Unsur-unsur itu saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tetapi, tidak saling meleburkan (Navis, 1986:59). Syafii Ma’arif (1996:129) menambahkan bahwa manusia menurut pandangan pandangan pepatah adat Minangkabau haruslah memiliki status dan kedudukan yang sama di depan sejarah, sekalipun memiliki fungsi yang berbeda, seperti berbedanya fungsi matahari dan bumi, air, dan udara.
Manusia dalam pandangan filsafat alam Minangkabau memiliki fungsi dan peran yang sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Pepatah adat Minangkabau mengukuhkan sikap hidup ini dengan ungkapan “Yang buta penghembus lesung, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang kuat pemikul beban, yang bodoh untuk disuruh-suruh, dan yang pintar lawan berunding” (Nasrun, 1971:67). Selain itu masyarakat Minangkabau dikenal juga sebagai masyarakat yang sangat terbuka dalam menerima perubahan. Suku bangsa Minangkabau terkenal kepeloporannya dalam menyeruak ke alam pemikiran modern tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang telah berurat berakar dalam kebudayaan mereka (Hars, 1992:98)
Memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik (yang merupakan pedoman yang diturunkan), tetapi sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktekkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu (Irwan-Abdullah, 2006:9-10). Salah satu bentuk perubahan yang esensial ialah perkenalan yang lebih mendalam dengan agama Islam yang telah menimbulkan kesadaran pada orang Minangkabau untuk lebih mementingkan keislamannya daripada keminangkabauannya dan menimbulkan kesadaran tentang keganjilan adat Minangkabau. (Umar Yunus, 2007; 249).  

3. Filsafat Hidup Wilhelm Dilthey Sebagai Pisau Analisis
Pemahaman tentang makna  hidup sebagai manusia dalam kebudayaan Minangkabau memerlukan metode hermeneutika, dalam hal ini peneliti menggunakan pemikiran Dilthey tentang hermeneutika yang  bertitik tolak dari Filsafat Hidup (Philosophie des Lebens), yang membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen). Melalui hermeneutikanya itu Dilthey bermaksud memberikan pendasaran epistemologis dan logis bagi ilmu sejarah. Hidup bagi Dilthey mengacu pada keadaan jiwa, proses, aktivitas sadar & tidak sadar, kreatif & ekspresif. Aktivitas hidup manusia merupakan substansi sejarah & objek Geisteswissenschaft. Hidup adalah kontinuum kenyataan yang bergerak dalam sejarah. Namun hidup tidak dapat diterangkan (erklaren), melainkan hanya dapat dipahami (verstehen).  Kehidupan dalam pemikiran Dilthey dimaknai secara khusus, bukan hanya arti biologis, tetapi seluruh kehidupan manusia yang dialami dengan berbagai keanekaragamannya. Dunia terdiri atas banyak kehidupan individual yang secara bersama membentuk kehidupan umat manusia sebagai kenyataan sosial dan historis. Oleh karena itu bagi Dilthey, kehidupan merupakan satu-satunya objek filsafat, dan tidak ada sesuatu di luar kehidupan. Ia menolak bentuk transendensi karena filsuf sendiri termasuk ke dalam kehidupan, dan itu hanya dapat dimengerti dari dalam. (Bertens, 1983: 88).
Pemikiran Dilthey tentang hermeneutika dimaksudkan sebagai ajang  pembuktian bahwa informasi historis acapkali bersifat insidental dan berlebihan, karena itu diperlukan filologi – dalam hal ini pemahaman tentang bahasa Minangkabau - untuk menyelami dan memahami fenomena historis secara universal. Untuk itu diperlukan aturan yang mengarah pada hasil yang lebih pasti melalui situasi ilmiah. Dalam pemikiran Dilthey, hermeneutika meningkat perannya dari teori pemahaman menjadi suatu disiplin ilmu yang berprinsip fundamental (Grundlagenwissenschaft). (Peter Szondi, 1978: 18-19). Tugas hermeneutika, bagi Dilthey ialah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar kualitas sejarah aman dari penyelundupan pandangan yang tidak dapat dipertanggunjawabkan. (Poespopoprodjo, 1987: 63).
Konsep pemahaman sebagai proses intelektual memberikan akses kepada kita pada dunia manusia, hal ini memainkan peran penting dalam pemikiran Dilthey. Ia menanamkan pengaruh yang besar bagi pengembangan disiplin yang dikenal dengan nama verstehens-soziologie (Understanding sosiology)  dan verstehens-psychologie (Understanding psychology). Hal itu menjadi sangat penting karena menjelaskan gagasannya  tentang pemahaman  dan alasan Dilthey memandang pemahaman sebagai hal yang sangat krusial. Keyakinan Dilthey bahwa pemahaman merupakan hal yang sangat penting bertitik tolak dari empat asumsi. Pertama, bahwa pemahaman itu merupakan proses umum dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, pemahaman sebagai sumber bahkan pengetahuan mendasar  realitas manusia. Ketiga, pemahaman terkait dengan realitas sosial yang kompleks berupa proses yang unik, yaitu bahwa seseorang tidak dapat dijabarkan atau ditempatkan kembali oleh yang lain. Keempat, bahwa pemahaman merupakan bagian esensial dari metode tentang studi manusia yang berbeda dari sains  (Rickman, 1979: 74).
Kunci pemahaman kehidupan batiniah manusia yang meliputi hal-hal berikut. Pertama, pemahaman itu dilakukan bukan via introspeksi, melainkan via sejarah. Artinya sejarah memainkan peranan yang sangat penting untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia. Kedua, problem pemahaman terletak pada penemuan kesadaran historis eksistensi manusia. Ketiga, manusia hidup dalam kompleksitas pengalaman hidup langsung sebagai totalitas. Keempat, pemahaman lebenswelt artinya pemahaman partikular yang harmonis atas momen  makna hidup. Kelima, bagian makna hidup membutuhkan masa lalu dan harapan horizon masa depan. Keenam, bagian makna hidup ini secara intrinsik bersifat temporal dan terbatas, sehingga harus dipahami dalam terminologi historisitasnya.
4.      Jenis-jenis Manusia  Minangkabau Berdasarkan Karakter
Dalam hal ini filosofi Minangkabau menyebutkan adanya ada enam jenis manusia berdasarkan karakternya, yaitu pertama  disebut dengan orang. Kedua disebut dengan orang-orang. Ketiga disebut dengan orang tampan. Keempat disebut orang yang angkuh atau sombong. Kelima dinamakan dengan orang-orangan (Bahasa Jawa: memedi sawah). Keenam disebut dengan manusia seutuhnya (insan kamil). Karakter manusia tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

a.      Urang ; artinya tahu membedakan mana yang baik dan yang buruk, tahu membedakan mana yang tinggi dan yang rendah. Karakter urang ini dinamakan juga sebagai orang biasa, mengacu pada perilaku orang pada umumnya, dikatakan juga sebagai manusia normal yang memiliki perilaku standar.

b.      Urang-urang; artinya bentuknya atau fisiknya saja yang menyerupai manusia, namun  ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai, ia seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa.

c.        Tampan Urang; artinya seseorang yang kalau dilihat atau diamati dari jauh, bentuknya seperti manusia sesungguhnya, gagah penampilan fisik meyakinkan, namun belum jelas akhlak atau moralnya, sehingga belum dapat dipercaya atau diyakini moralitasnya.
d.      Angkuah-angkuah urang; artinya seseorang yang diibaratkan seperti patung (robot). Hidupnya ditentukan oleh orang lain (pasif), sehingga ia tidak mempunyai pendirian. Otaknya digambarkan seperti “otak udang”, “benaknya di jempol kaki”.  Otak udang dan benak di jempol kaki merupakan sebuah ungkapan,  metafor yang merupakan sebuah bentuk analogi tentang orang yang sangat bodoh.
e.    Urang-urangan; artinya bukan manusia tetapi hanya menyerupai manusia seperti memedi sawah untuk menakut-nakuti burung. Kalau ditarik ia bergerak, kalau tidak ia diam saja. Urang-urangan disini mengacu pada sejenis benda yang dibuat mirip orang untuk menakut-nakuti burung yang dianggap sebagai hama di sawah. Penggunaan metaphor untuk penyebutan orang-orangan dimaksudkan sebagai analogi untuk benda menyerupai orang yang berfungsi sebagai substitusi orang dalam arti sebenarnya, sehingga binatang seperti burung menjadi takut lantaran mengira benda itu sebagai manusia yang sesungguhnya.
f.     Urang Sabana urang; artinya seseorang yang mengetahui perihal awal dan akhir, tahu tentang lahir & batin, peka terhadap persoalan yang berkembang di sekitarnya, punya rasa malu dan sopan santun, bisa merasakan sesuatu dan punya rasa ingin tahu untuk memeriksa lebih lanjut (tahu jo raso pareso). Ia digambarkan sebagai orang yang cerdik cendekia, arif bijaksana, berakhlak mulia, banyak ilmunya. Orang seperti ini memenuhi syarat sebagai manusia bermartabat. Hidupnya menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya. (Madjo-Indo, 1999: 57).
5.      Martabat Manusia
Martabat manusiadalam pepatah adat Minangkabau  ada empat, yaitu:
a.       Cerdik, artinya “kendaraan nan maha tinggi, karano berakal”. Secara metafor artinya kekuatan akalnya diibaratkan fasilitas untuk menjelajahi dunia, sehingga ia bisa berbuat banyak, dapat pula dijabarkan ke dalam pepatah lain yang berbunyi hidup berakal mati beriman. Dengan demikian orang seperti ini tidak akan pernah mengalami deadlock, karena ia selalu dapat memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya, bukan hanya untuk dirinya, bahkan membantu kesulitan orang lain. Amir M.S menambahkan pengertian cerdik dengan pandai, sehingga dinamakan orang cerdik pandai adalah orang yang tahu dengan gelagat, tahu dengan patahan dahan dan kait, pandai memangkas pematang hingga rapi dan menambal, pandai menghilang dalam air, membuhul tanpa membenjol, menyambung tanpa membekas. (Amir M.S:2007: 52). Makna yang lebih dalam tentang ungkapan ini mencerminkan tentang keunggulan orang cerdik pandai yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara rapi, cermat, mengesankan tanpa menyinggung perasaan orang lain, memiliki kemampuan membaca situasi.

b.      Cendekia; “nagari nan maha laweh, babudi nan maha tinggi”. Secara metafor orang yang dimaksud adalah orang yang berdada lapang dan berbudi tinggi. Negeri yang maha luas menggambarkan dan merupakan substitusi dari orang yang berdada lapang, mampu menampung berbagai permasalahan yang ada, tidak hanya permasalahan dirinya bahkan permasalahan orang lain.

c.       Budiman (berakhlak); Nan dikatokan budiman, pakaian nan maha baiek, kahidupan nan panuah kasabaran. Artinya secara metafor mencerminkan orang yang berakhlak dan berkelakuan terpuji dan sabar dalam menghadapi kehidupan.
d.      Arif; digambarkan dalam ungkapan palito nan tarang, hiduik nan panuah jo ilmu. Artinya  secara metafor orang tersebut memiliki ilmu yang banyak, sehingga dijadikan tempat bertanya bagi orang-orang di sekitarnya atau dianggap sebagai narasumber yang terpercaya.

C.    KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka hasil peneitian ini tiba pada butir-butir kesimpulan sebagai berikut.
Pertama;  bahwa pemahaman tentang Filsafat Hidup Minangkabau itu merupakan proses umum yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Pemahaman atas konsep Urang sabana urang dalam pepatah adat Minangkabau bersumber pada realitas masyarakat Minangkabau yang terkait dengan realitas kehidupan sosial yang kompleks dan  unik yang tercermin dalam kehidupan konkret mereka sebagaimana yang tercantum dalam teks tambo adat Minangkabau. Pengalaman hidup masyarakat Minangkabau sebagai perjalanan historisitas ini dalam terminologi Dilthey dinamakan erlebnis.
Kedua;  bahwa konsep Urang sabana urang masyarakat Minangkabau itu terungkap dalam pepatah petitih Minangkabau yang dalam terminologi Dithey merupakan ausdruck, ekspresi pengalaman hidup dan historisitas masyarakat Minangkabau. Ekspresi tersebut paling banyak ditemukan dalam jenis karakter manusia sebagaimana tecermin dalam ungkapan  yang berbunyi: ada enam macam manusia; pertama orang namanya, kedua dinamakan orang-orang, ketiga dinamakan orang yang tampan, keempat orang yang angkuh, kelima, dinamakan orang-orangan, keenam orang yang sebenar-benar orang.
Ketiga; pemahaman atas konsep urang sabana urang dalam verstehen  masyarakat Minangkabau adalah orang yang memiliki karakter seperti: mengetahui awal dan akhir, lahir dan batin, punya rasa malu dan sopan, memiliki sifat cerdik cendekia, arif bijaksana, berbudi tinggi, banyak ilmu, menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya.
Keempat; kunci pemahaman kehidupan batiniah manusia atas konsep urang sabana urang dalam pepatah adat Minangkabau terletak pada historitas, artinya sejarah masyarakat Minangkabau memainkan peranan yang sangat penting untuk memahami berbagai aspek kehidupan mereka. Dengan demikian pemahaman yang komprehensif atas konsep urang sabana urang terletak pada penemuan kesadaran historis dan kompleksitas pengalaman hidup langsung masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Kelima; pengaruh globalisasi dan budaya hidup modern ikut mempengaruhi cara pandang masyarakat Minangkabau tentang konsep urang sabana urang, sehingga diperlukan reinterpretasi atas konsep tersebut agar dapat dipahami dengan baik oleh generasi muda Minang yang tercerabut dari akar budayanya.

D.    DAFTAR PUSTAKA

Amir,M.S. 2007, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Values, Albuquerque, New Mexico.
Bertens, Kees., 1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggeris-Jerman, Gramedia, Jakarta.
Deledalle, Gerard ; 2000. Charles Peirce’s Philosophy of Signs : Essays in
               Comparative Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Edwar Djamaris, 1991, Tambo Minangkabau; Suntingan teks disertai Analaisis Struktur, Balai Pustaka, Jakarta.
Hars, Nasruddin, 1992, Profil Propinsi Sumatera Barat, Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Jakarta.
Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo., 2009,  Tambo Alam Minangkabau, Kristal Multiedia, Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Irwan-Abdullah, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kattsoff, L. O., 1986, Pengantar Filsafat (Elements of Philosophy), alih bahasa: Drs. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 2004, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Cetakan Keduapuluh satu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ma’arif, Ahmad Syafii, 1996, “Gagasan Demokrasi dalam Perspektif Budaya Minangkabau”, dalam; Muhammad Najib dkk. (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, LKPSM, Yogyakarta.
Madjo-Indo, A.B.Dt., 1999, Kato Pusako: Papatah, Patitih, Mamang, Pantun, Ajaran, dan Filsafat Minangkabau, PT Rora Karya, Jakarta.
Mudji-Sutrisno, 2008, Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks, Hujan Kabisat, Jakarta.
Nasroen, M., 1957, Dasar Falsafat Adat Minangkabau, Penerbit Pasaman, Jakarta.
Navis, A.A., 1986, Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan Kabudayaan Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Rajo Penghulu, Idrus Hakimy Dt., 1994, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Rajo Putiah, A.B. Dt.  1992, “Siapa Sebenarnya Ninik Mamak Itu ?” Buletin Sungai Puar No. 39 Februari 1992.
Rickman, H.P., 1979, Wilhelm Dilthey: Pioneer of the Human Studies, Paul Elek, London.
Sastrapratedja, M., 2009, Pancasila sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kritik Ideologi, makalah dalam Kongres Pancasila, yang diselenggarakan Pusat Studi Pancasila UGM dan Mahkamah Konstitusi RI.
Syafii Ma’arif, 2005, “Etika Orang Minang Semakin Merosot”, dalam REPUBLIKA, tanggal 21 Juni 2005.
Szondi, Peter., 1978, Introduction to Literary Hermeneutics, dalam http://www.jstor.org/stable/488257accessed: 21/ 07/ 2008.
Titus, H. H., Marilyn S. Smith, and Richard T. Nolan, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat (Living Issues in Philosophy), alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta.
Umar Yunus, 2007, ”Kebudayaan Minangkabau” dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia,Cetakan keduapuluhdua, Penerbit Djambatan, Djakarta.
Wasito Poespoprodjo., 1987, Interpretasi, Penerbit Remadja Karya, Bandung.
-------------------------., 1985, Hermeneutika Filsafati: Relevansi dari Beberapa Perspektifnya Bagi Kebudayaan Indonesia, Disertasi pada Universitas Padjadjaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar