Selasa, 08 November 2011

Kecerdasan Lokal dalam Proses Ritual menjadi Balin pada Masyarakat Dayak

KECERDASAN LOKAL DALAM PROSES RITUAL MENJADI BALIN (SHAMAN)
PADA MASYARAKAT DAYAK

Peneliti:
1.      Rizal Mustansyir
2. Sonjoruri Budiani Trisakti

INTISARI
            Kecerdasan lokal pada proses menjadi balin dalam masyarakat Dayak mengandung banyak keunikan dan berelasi secara kuat dengan kreativitas. Setiap tindakan manusia selalu didasarkan atas kreativitas tertentu dalam rangka menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dibalik sebuah kreativitas terdapat kecerdasan  yang umumnya didominasi oleh kelompok minoritas dalam suatu kebudayaan.  Wujud kecerdasan manusia dapat dimanifestasikan dalam bentuk artefak, tindakan, dan ide. Salah satu bentuk kecerdasan  lokal dalam budaya Dayak dapat dilihat dalam prosesi ritual menjadi balin.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang dilengkapi dengan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang pernah melakukan penelitian tentang shaman masyarakat Dayak, dilengkapi pula dengan wawancara dengan beberapa pelaku balin di Desa Bagak Sahwa, Singkawang dan Daerah Mandor, Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode reflektif-hermeneutika yang didasarkan atas unsur-unsur metodis: analisis kritis, interpretasi, dan  deskripsi dengan menggunakan teori kecerdasan Gardner.
            Hasil penelitian Kecerdasan lokal dalam aktivitas saman atau balin pada budaya Dayak Kalimantan, ketujuh kecerdasan yang diungkap oleh Gardner teroperasikan secara kait mengkait, sehingga seorang balin t mampu melakukan tugas dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan dihadapi masyarakatnya. Namun demikian dari ketujuh macam kecerdasan tersebut, kecerdasan Bodily-kinesthetic, intrapersonal dan interpersonal yang paling menonjol sementara bentuk kecerdasan spatial lebih dimaknai secara metafisik, bukan ruang dalam arti fisik.

A.    LATAR BELAKANG

Menurut Ernest Cassirer, manusia adalah mahluk yang menciptakan dan hidup dalam simbol (animal symbolicum). Simbol selalu berakar dalam budaya sebagai wadah yang menampung berbagai kreativititas manusia dalam aktivitasnya sebagai anggota komunitas budaya. Setiap aktivitas manusia selalu mencerminkan proses budaya yang diwariskan sekaligus perubahan – baik berupa perkembangan maupun kemerosotan.Perkembangan budaya dalam suatu komunitas berelasi secara kuat dengan kreativitas. Setiap tindakan manusia selalu didasarkan atas kreativitas tertentu dalam rangka menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dibalik sebuah kreativitas terdapat kecerdasan  yang umumnya didominasi oleh kelompok minoritas dalam suatu kebudayaan.  Wujud kecerdasan manusia dapat dimanifestasikan dalam bentuk artefak, tindakan, dan ide. Salah satu bentuk kecerdasan  lokal dalam budaya Dayak dapat dilihat dalam prosesi ritual menjadi balin.
Dalam prosesi menjadi balin termuat beragam macam artefak, tindakan, dan ide di dalamnya. Ketiga faktor budaya tersebut terkait satu sama lain, sehingga dapat mencerminkan bentuk kecerdasan lokal masyarakat Dayak. Ide yang terdapat dalam prosesi ritual menjadi balin tercermin dalam gagasan untuk mewariskan nilai-nilai berupa inisiasi (belapas) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tindakan dalam prosesi balin itu sendiri berwujud  upacara yang berlangsung selama beberapa hari, kurang lebih tiga hari. Prosesi itu melibatkan banyak pihak seperti: balin senior, pebayuq (asisten balin), anggota keluarga, dan masyarakat sekitar. Artefak berupa benda-benda budaya yang dipakai dalam upacara inisiasi tersebut seperti: daun kelapa yang dihias, potongan bambu untuk tempat upacara (bembayungan), dan benda-benda lain yang dibutuhkan sebagai perlengkapan upacara.
Hal yang menarik untuk diteliti disini adalah berkaitan dengan balin sebagai bentuk peningkatan status sosial dari orang biasa menjadi orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengobati orang lain. Meskipun peningkatan status sosial tidak dengan sendirinya meningkatkan kemampuan ekonomi, mengingat orang yang berobat pada balin tidak dikenakan tarip tertentu, bahkan terkesan seadanya, namun minat untuk menjadi balin tetap ada pada masyarakat Dayak. Di samping status sosial, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan lokal. 

B.     PEMBAHASAN

A.    Masyarakat Dayak dan Balin

1. Suku dan Subsuku Dayak Kalimantan
Suku Dayak sebagai suku asli Kalimantan tersebar di seluruh wilayah tersebut. Sebutan Dayak pada mulanya merupakan hasil rekonstruksi kolonial untuk menyebut penduduk asli Kalimantan. “Daya’” dalam banyak varian berarti “hulu” dan “manusia, sehingga “Daya’” dapat diartikan sebagai “manusia pedalaman”. Namun demikian, istilah “Dayak” dapat diasalkan dari “dayaka” yang berarti “suka memberi”. (Bamba, 2008:12).
            Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cilik Riwut, Suku Dayak terdiri dari tujuh suku Besar: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban dan Heban atau dayak Laut, Dayak Klemantas atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan, dan Dayak Ot Danom. Ketujuh Suku Dayak Besar tersebut masih terbagi dalam 18 suku yang lebih kecil atau anak Suku yang sedatuk. Delapan belas Anak Suku yang sedatuk terdiri dari 405 suku kekeluargaan atau sefamili. Setiap suku menempati wilayah tertentu dan bahasa daerah tertentu sehingga antara satu suku Dayak dengan suku Dayak yang lain belum tentu mempunyai bahasa yang sama dan menempati wilayah yang sama (Cilik Riwut, 2007:265-291).
Ketersebaran wilayah maupun bahasa merupakan salah satu faktor bagi terbentuknya keberagaman identitas budaya di antara mereka sehingga dapat dikatakan bahwa mereka sama-sama Dayak tetapi sekaligus mereka berbeda satu dengan yang lain. Pengunaan bahasa yang berbeda terjadi juga untuk istilah “Balin” atau “Balian” yang menunjuk pada salah satu upacara adat dalam budaya Dayak. Balian dalam kepercayaan Kaharingan mempunyai andil besar karena sebagai penghubung dalam berkomunikasi dengan Tuhan pada upacara-upacara adat atau keagamaan (Riwut, 2007: 382).

2.      Balin dan Aktivitasnya
Istilah Balin yang dalam bahasa Dayak Benuaq disebut Balian berasal dari kata lietn yang mempunyai arti pantang, sehingga “Balian” dimaknai sebagai usaha manusia untuk mencegah musibah dalam kaitan dengan kehidupan dan bukan kematian Istilah Balin atau Balian mengacu pada ritual adat yang berkaitan dengan kehidupan sementara ritual yang berkaitan dengan kematian digunakan istilah wara atau setangih. Sementara itu, upacara Balin atau Balian dilakukan oleh pemeliatn. Baik laki-laki maupun perempuan dalam Dayak Benuaq dapat menjadi pemeliatn. Pemeliatn laki-laki disebut pemeliatn turaatn, sementara pemeliatn perempuan disebut pemeliatn bawe (Haryo, 2007:51-52).
Chatarina Pancer Istiyani, dalam penelitiannya tentang Shaman, menemukan istilah Boretn yang digunakan dalam masyarakat Dayak Panu yang menunjuk pada kemampuan dalam hal penyembuhan. Namun demikian menurutnya kemampuat boretn tidak hanya menyembuhkan penyakit dalam tubuh manusia tetapi pada kemampuan supranatural yang dapat menyembuhkan penyakit dalam jiwa manusia. Kemampuan supranatural ditunjukkan dengan kemampuan ekstase, kemampuan untuk melakukan perjalanan roh ke dunia lain. (Istiyani, 2007:106-111). Dalam bahasa Dayak Bekati’, digunakan istilah pabari untuk menunjuk pada shaman. Dayak Kanayatn-Bukit menyebut ritual shamanistik dengan istilah baliatn dan para shaman disebut pamaliatn, sementara Dayak Sawe maupun Dayak Jangkang menyebutnya dengan belian dan Dayak Desa menggunakan istilah tukang semanang untuk istilah shaman. Dayak Kubin menyebut shaman dengan  istilah beliatn, Dayak Iban dengan istilah manang, sementara Dayak Jalai menggunakan istilah balin untuk shaman (Yusnono, 2004:30-36).
Lebih lanjut Istiyani dalam penelitiannya menemukan adanya tiga jenis shaman dalam masyarakat Dayak Panu yaitu boretn dori, boretn tonyukng, dan boretn dewa. Boretn dori  dan boretn tonyukng  merupakan boretn yang memiliki imai atau roh yang memberikan kemampuan shamanistik dan yang menjadi penolong utamanya. Jika roh yang dimiliki boretn dori bersemayam di gunung sebagaimana arti dari dori adalah gunung, maka roh yang dimiliki boretn tonyukng bersemayam di Tanjung  sebagaimana arti dari tonyukng  adalah tanjung sementara boretn dewa tidak ditentukan oleh imai tetapi jimat batu yang dimiliki adalah karena sengaja dicari dan bukan pemberian imai (Istiyani, 2007:108-109).
Pada masyarakat Dayak Jalai, balin mempunyai kemampuan unuk mengadakan ritual rayah yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain balin. Rayah bukan hanya semata-mata merupakan ritual untuk penyembuhan tetapi lebih utama sebagai ritual untuk melakukan perjalanan spiritual roh sang balin menuju ke dunia roh atau sebayan yang dalam Dayak Panu di sebut imai. Proses perjalanan spiritual ini atau ekstase dalam bahasa Dayak Jalai disebut menyebayan yang artinya pergi ke sebayan. Agak berbeda dengan shaman di Dayak Punan, pada ritual Rayah yang dilakukan untuk penyembuhan, maka balin harus menyebayan untuk merebut kembali roh atau semangat si sakit dari sebayan. Disamping untuk merebut kembali roh pasien, dalam perjalanan menyebayan, seorang balin akan menemukan petunjuk mengenai sebab-sebab si sakit dan cara penyembuhannya. Selain itu setelah roh balin kembali ke jasadnya, maka ia akan menyampaikan semua yang ditemukan dalam perjalanan menyebayan baik yang menyangkut persoalan pasien maupun hal-hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan pasien. Aktivitas menyebayan dalam Dayak Jalai merupakan aktivitas yang mempertaruhkan nyawa balin karena dimungkinkan roh sang Balin tidak kembali ke jasad. (Bamba, 2003:129-131).
Pada Dayak Jalai, setidaknya terdapat tujuh macam rayah, yang mempunyai tujuan dan sarana yang berbeda-beda. Pertama, rayah orang sakit, ritual ini hanya dilakukan seorang balin jika terpaksa untuk mengobati orang sakit,  namun apabila dapat disembuhkan dengan ramuan yang diberikan balin, rayah tidak dilakukan mengingat besarnya biaya, waktu, dan tenaga yang harus dikeluarkan.Kedua, rayah menjadi balin, merupakan ritual rayah pada proses inisiasi untuk menjadi seorang balin. Ketiga, rayah kamit, dilakukan untuk menjalankan adat kamit yakni membayar janji yang telah dinyataan jika permohonan tercapai. Keempat, rayah besiang rumah, bertujuan untuk membersihkan rumah dari roh-roh buruk yang membawa kesialan. Kelima, rayah besuang berandang kelangkah kelampatan, dilakukan setelah adanya kematian terutama di rumah seorang balin untuk menghindari kemalangan karena adanya pelanggaran atas adat. Hal ini mengingat seorang balin pada Dayak Jalai tidak diperkenankan seumur hidupnya untuk menghadiri orang meninggal, sementara yang meninggal adalah anggota keluarga yang tinggal di rumah seorang balin, maka pelanggaran tersebut tidak dapat dihindari. Keenam, rayah menaikiq rumah, dilakukan ketika menempati rumah baru agar terhindar dari kemalangan. Ketujuh, rayah semangat padiq, dilakukan jika terjadi petaka yang menimpa benih padi seseorang baik karena lumbung terbakar atau kejadian lain. Rayah semangat padiq bertujuan untuk mengambil kembali roh padi yang telah lepas atau hilang. Hal ini menandakan pentingnya padi pada masyarakat Dayak Jalai (Bamba, 2003:131-133).

B.     Artefak, Tindakan, dan Ide dalam Proses Menjadi Balin

1. Sarana, Peralatan dan ide di dalamnya dalam Ritual Rayah
Pada Dayak Jalai, ritual Rayah yang di dalamnya terjadi perjalanan spiritual yang hanya dilakukan oleh balin menggunakan beberapa sarana dan peralatan (Bamba, 2003: 133-135):
     a. Bembayungan; sejenis bangunan yang dirangkai dari bambu, kayu sigulang, daun kelapa, dan sesaji.
b. Lumpang; digunakan untuk bepimpin yang dibentuk dengan ruas bambu untuk menyimpan tuak.
     c. Burai / Seludang;  berupa mayang pinang yang digunakan dalam ritual rayah oleh balin ketika mulai memasuki alam transenden dengan menanam sebutir beras di ubun-ubunnya. Saat butir beras tersebut masuk di kulit kepala, maka balin memukul dengan seludang atau mayang yang masih terbungkus hingga pecah pembungkusnya.
     d. Buluh; merupakan alat yang digunakan dalam betibuq yakni proses pertama yang dijalani calon balin. Buluh sebesar pergelangan tangan bayi yang dipotong menjadi satu ruas dengan bagian bukunya dilobangi ini pada proses tersebut dipukulkan ke kepala balin hingga pecah.
     e. Tuak;   sejenis minuman fermentasi yang dibuat dari beras ketan hitam, tanpa tuak seorang balin tidak bisa berayah.
     f. Sigulang; sejenis kayu yang dipotong seukuran kayu bakar dan ditekuk bagian tengah. Sigulang juga digunakan untuk proses inisiasi balin.
     g. Daun Sambung; daun sambung pada ritual rayah dimasak bersama sepotong burai yang diminum oleh balin ketika masuk ke dunia transenden.
     h. Daun buah-buahan; merupakan daun dari berbagai jenis buah-buahan beserta rantingnya yang diikat jadi satu untuk menyucikan dari hal-hal yang kotor baik pada pasien atau pada balin yang diinisiasi.
     i. Pialang; nasi ketan yang diolah dalam buluh untuk makanan balin ketika mulai berayah.

2.  Prosesi ritual menjadi Balin
Untuk menjadi Balin dalam masyarakat Dayak Jalai harus memiliki beberapa kriteria (Bamba, 2003:136):
     1. memiliki keahlian pengobatan dan penyembuhan
     2.  diinisiasi melalui ritual betibuq dan disempurnakan dengan belapas belayang.
     3.  mampu melakukan ritual berayah
Setelah ciri-ciri khusus yang menandakan bahwa seseorang telah dipilih oleh roh nenek moyang sebagai balin diketahui, maka untuk resmi menjadi balin harus menjalani ritual yang disebut betibuq.  Ritual betibuq untuk menibuq seseorang menjadi balin dilaksanakan karena beberapa alasan (Bamba: 2003:140):
     1.  adanya bakat menjadi yang dimiliki seorang yang diperoleh baik secara khusus maupun karena keturunan (Bamba: 2003:140).
     2.  dalam hal karena keturunan, maka seorang balin senior mempunyai alasan untuk mengembalikan peralatan balin yang telah dititipkan oleh orang tua yang bersangkutan kepadanya. Namun demikian orang tua kandung dapat juga menibuq anak kandungnya (Bamba: 2003:140). 
     3.  berdasar prakarsa balin senior karena berdasarkan hasil pengamatan seorang balin senior pada saat melakukan berayah seseorang yang hadir dalam ritual berayah tersebut memiliki bakat sebagai balin. Jika seseorang yang ditibuq menjadi lalap (tidak sadarkan diri) dan yang bersangkutan bersedia menjadi balin maka dapat melakukan proses selanjutnya (Bamba: 2003:140).
     4.  karena adanya tantangan dari seseorang yang tidak percaya pada kemampuan para balin dan meminta mereka untuk menibuq dirinya hingga lalap. Atau karena adanya seseorang yang bermain-main dengan peralatan balin waktu berayah. Jika dibetibuq ternyata lalap maka harus menjadi balin walau tidak menghendaki dan jika menolak akan terkena sanksi hukum adat. Jika ternyata tidak lalap maka mereka wajib membayar denda adat sebagaimana telah ditentukan (Bamba: 2003:140).
Setelah menjalani betibuq, maka harus disempurnakan dengan upacara belapas-belayang. Ada dua cara yang bisa dipilih untuk menyelesaikan proses menjadi balin secara resmi: juang kapat atau lumpat lanting. Juang kapat memerlukan proses yang panjang, tenaga dan biaya yang besar yang dilakukan dalam proses berayah sebanyak 10 kali dalam waktu bertahun-tahun lamanya. Sementara lumpat lanting lebih sederhana prosesnya. Proses lumpat lanting dapat dipilih oleh seseorang yang telah melakukan betibuq berumpai atau rabah balin dan telah mempraktekkan keahliannya walau belum belapas belayang. Dalam proses lumpat lanting selanjutnya si calon balin dapat menumpang untuk menjalani proses balin pada saat melaksanakan adat kamit orang hamil atau menumpang ketika orang lain sedang mengamit seseorang dan ketika kamit dibayar maka calon balin tersebut dapat langsung belapas (Bamba, 2003:148).
Pada cara juang kapat dalam belapas tradisi Dayak Jalai melalui 10 proses berayah. Cara ini mengikuti proses orang berladang (Bamba, 2003: 146-147):
1.    Betibuq berumpai (Rabah balin). Proses ini merupakan proses ketika balin senior menibuq (memukul kepala calon balin dengan seludang atau mayang pinang) pada upacara berayah hingga calon balin tersebut lalap. Namun demikian jika calon balin setelah ditibuq tidak lalap maka dinyatakan gagal dan dapat diulang lagi pada waktu yang lain jika memang menghendaki. Dalam prosesi ini, Balin akan menibuq  calon balin dengan menggunakan seludang atau mayang pinang yang masih terbungkus yang dipukulkan ke kepala calon balin hingga seludang pecah menjadi burai dan calon balin menjadi lalap.

     2. Bekapak Hakam Ragam. Proses ini merupakan proses penyucian diri dari segala pantangan yang dilakukan selama sebagai orang biasa. Tahapan ini disebut juga besiang beradang bepangkas beluis.
     3.  Mendudukan Pantiq. Merupakan upacara menetapkan pantangan dan mulai berpuasa untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi ritual belapas belayang (pelantikan sebagai balin).
     4. Bejampik Menabas. Proses ini merupakan proses yang dilakukan oleh calon balin untuk memulai pengerjaan ladang setelah melakukan rayah bejampik menabas sampai tiba waktunya untuk belapas belayang.
     5.  Bejampik Mencucul dan Menugal. Kegiatan ritual ini dikerjakan sebagai titik awal kegiatan membakar ladang dan menanam benih.
     6.  Makan Harum Sensabik. Ritual berayah Makan Harum Sensabik dilakukan ketika akan mulai memanen dan menikmati sayuran hasil ladang pertama.
     7.  Padi Buntingan. Ritual rayah ini diadakan untuk menyambut bunting padi. Rayah Buntingan  merupakan saah satu rayah yang cukup besar karena baik balin senior maupun balin muda melakukan puasa tujuh hari. Balin muda dan keluarganya berpantang untuk pergi ke ladang agar terhindar dari kepuhunan padi, ketan, jawa, dan senjali. Kepuhunan artinya pantangan yang tidak boleh dilanggar, karena dapat mendatangkan musibah seperti kecelakaan.
     8.  Menjangkap Lakau Pemaliq. Proses ini berupa rayah yang dilakukan untuk menikmati panen dari ladang yang diadati. Rayah yang dilakukan cukup besar karena diadakan seharian penuh dan disertai berbagai permainan yang diadakan di tengah ladang yang sedang dipanen. Pada ritual ini, untuk pertama kalinya balin muda pergi ke lakau dalam persiapan belapas.
     9.  Belapas. Upacara ini merupakan ritual paling besar dalam rangka pelantikan balin muda. Keduanya baik balin senior yang melantik maupun calon balin yang akan dilantik harus berpuasa selama empat belas hari. Ritual rayah ini dilakukan selama dua hari dua malam.
  10.  Menjulang Atuq. Proses berayah terakhir yang harus dilakukan oleh balin muda dalam Juang Kapat adalah menjulang ataq untuk menutup kegiatan berladang. Rayah ini dilaksaknakan untuk mengembalikan roh padi ke lumbung.
Tindakan menyebayan pada ritual berayah yang dilaksanakan dalam rangka belapas ditujukan untuk mencari kesaktian bagi balin muda yang akan dilantik. Roh seorang balin dalam menyebayan menuju sebayan akan menghadapi rintangan dan cobaan dalam perjalanan sesuai dengan cara hidup dan perbuatan yang dijalaninya. Bagi balin yang taat yang lebih mudah perjalanannya daripada balin yang sering melanggar pantangan yang harus dijalani dalam hidupnya. (Bamba, 2003: 148).

C. Kecerdasan Lokal dalam Balin
       Gardner memformulasikan adanya 7 jenis kecerdasan sebagai berikut. Pertama; Linguistic intelligence meliputi kepekaan terhadap bahasa ucapan maupun bahasa tulisan, kemampuan untuk belajar bahasa, dan kecakapan dalam menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Kecerdasan linguistik ini meliputi juga kemampuan menggunakan bahasa secara efektif untuk mengekspresikan dirinya secara retoris atau puitis. (Smith, 2008). Jika kecerdasan ini dimaknai sebagai kecerdasan yang berkaitan dengan penguasaan bahasa sebagai alat komunikasi, maka seorang balin dan pebayuqnya pada budaya Dayak secara adat dituntut untuk memiliki jenis kemampuan ini. Kecerdasan linguistik dapat dicermati dalam proses berayah yang dilakukan oleh seorang Balin. Pada aktivitas rayah, seorang balin harus menyebayan untuk mencari solusi atas persoalan yang sedang diperayahkan. Dalam keadaan lalap, balin yang sedang menyebayan akan berbicara. Pada saat inilah pebayuqnya (asisten) atau balin lain yang membantu harus dapat menangkap segala ucapan yang diucapkan balin yang menyebayan tersebut (Bamba, 2003: 149-150).
Kedua; Logical-mathematical intelligence terdiri dari kemampuan untuk  menganalisis persoalan secara logis, menerapkan operasi dalam matematika, dan menyelesaikan persoalan secara ilmiah. Kecerdasan ini mewujudkan kemampuan untuk menangkap pola-pola berpikir secara deduktif dan berpikir secara logis. (Smith, 2008). Jika kecerdasan logical-mathematical dipahami secara positivistik dan scientific modern, maka tentunya model kecerdasan ini tidak tampak pada proses menjadi Balin dan tidak ada tuntutan bagi seorang balin untuk menguasai kecerdasan ini. Bahkan dalam arti tertentu kegiatan yang dilakukan seorang balin merupakan kegiatan yang tidak rasional dan ilmiah, khususnya cara pengobatan yang dilakukan seorang balin  dilawankan dengan dunia kedokteran yang sifatnya ilmiah. Namun demikian jika model kecerdasan ini dapat dimaknai sebagai suatu kecerdasan yang memuat kemampuan menangkap pola-pola yang ada di dalam alam semesta yang terbentang luas ini, maka seorang balin dituntut untuk memiliki dan mengembangkannya. Untuk memahami pola alam semesta ini, seorang balin Dayak Jalai harus melakukan ritual proses berladang. Melalui proses ini seorang balin berlatih mengenai proses kehidupan dan alam semesta. Di samping itu, obat-obatan yang dipergunakan seorang balin terutama diperoleh di lingkungannya. Tanpa adanya kemampuan untuk memahami pola alam yang ada di sekitarnya, pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh dan dimilikinya.
            Ketiga; Musical intelligence meliputi ketrampilan dalam dunia pertunjukkan, komposisi, dan apresiasi musik sehingga seseorang yang memiliki musical intelligence memiliki kapasitas untuk mengenal dan menggubah nada, bunyi, dan ritme dalam music (Smith, 2008). Sebagaimana dalam pandangan Gardner, bahwa kecerdasan ini berjalan seiringan dengan kecerdasan linguistik, seorang balin juga dituntut peka terhadap musik karena ritual rayah yang harus dipimpinnya sangat sarat dengan musik dan salah satu peralatan dalam berayah adalah musik sebagai iringannya. Musik menjadi salah satu media dapat prosesi rayah. Seorang balin harus memahami alat musik dan tentunya nada, ritme yang harus dimainkannya karena setiap jenis rayah memiliki ritme dan nada yang berbeda. Bahkan untuk membunyikan ketabung di luar kegiatan berayah harus melakukan ritual sederhana. (Bamba, 2003: 109)
            Keempat; Bodily-kinesthetic intelligence memuat potensi untuk menggunakan tubuh secara keseluruhan atau bagian-bagian tubuhnya untuk menyelesaikan persoalan. Kemampuan mental untuk mengkoordinasikan gerak tubuh dibutuhkan dalam jenis kecerdasan ini. Ada keterkaitan antara mental dan body. (Smith, 2008). Bodily-kinesthetic intelligence dapat dicermati dalam prosesi menjadi balin terutama pada kegiatan ritual rayah. Pada ritual rayah seorang balin harus mampu mengontrol tubuhnya. Pada proses lalap, seorang balin harus mempunyai kemampuan untuk mengontrol badan yang ditinggalkannya walaupun tidak bersifat mutlak. Badan yang statis ketika lalap akan bergerak sebagai tanda bahwa ia telah akan mengakhiri kondisi lalap dan pada saat inilah dibantu dengan balin lain atau pebayuq, balin yang lalap tersebut dibangunkan. Kondisi lalap suatu kondisi ketika roh balin meninggalkan tubuhnya dan melakukan nyebayan atau perjalanan ke dunia roh,  dalam budaya shaman pada Dayak Kalimantan tidaklah dapat dikatakan sebagai proses kemasukan roh atau suatu kondisi badan manusia dikuasai oleh roh lain. Lalap pada prosesi balian, seorang balin tidaklah dikuasai oleh roh sebab ia mempunyai kontrol terhadap tubuhnya sehingga dalam keadaan lalap seorang balin tampak sebagai orang yang tidur dan tidak melakukan berbuatan yang aneh-aneh di luar control dirinya. Lalap dalam budaya Dayak Kalimantan merupakan tindakan yang disengaja, direncanakan, dan dikehendaki. Seorang balin  dalam prosesi menyebayan, menentukan sendiri kapan dia akan lalap dan kapan dia akan mengakhiri lalap. (Bamba, 2003: 137).
            Kelima; Spatial intelligence memuat potensi untuk menangkap dan menggunakan  pola ruang yang luas dan batas area (Smith, 2008). . Dalam prosesi ritual rayah, ruang gerak balin  dibatasi pada area upacara mengelilingi bembayungan, namun ketika lalap, sesungguhnya balin berada pada ruang dalam dimensi lain. Hal inilah yang dikemukakan oleh Maniamas Miden dalam wawancaranya, bahwa seorang balin ketika lalap sedang melakukan perjalanan ke dunia lain, ruang yang dimaksud disini lebih bersifat metafisik.
            Keenam; Interpersonal intelligence berkaitan dengan kapasitas memahami maksud, motivasi dan keinginan orang lain. Kecerdasan interperpersonal ini membuat seseorang yang memilikinya dapat bekerja dengan orang lain secara efektif. (Smith, 2008). Aktivitas seorang balin sangat berkaitan dengan masyarakat. Ia merupakan salah satu orang yang disegani dalam masyarakatnya. Setiap saat seorang balin harus siap ketika orang memanggilnya untuk mengobati orang sakit meminta pertolongan. Seorang balin tidak hanya berurusan dengan pengobatan tetapi juga fungsi-fungsi yang lain dalam masyarakat, di antaranya dalam memimpin upacara-upacara adat. Fungsi tersebut tidak akan mungkin dipercayakan pada seorang balin jika ia tidak memiliki kemampuan untuk bekerja dengan orang lain, memahami maksud, motivasi dan keinginan masyarakatnya.
            Ketujuh; Intrapersonal intelligence memuat kemampuan untuk memahami diri sendiri, memahami perasaannya sendiri, memahami ketakutan dan motivasi yang ada pada dirinya. (Smith, 2008). Seorang calon balin sebelum secara formal diakui sebagai balin, ia terlebih dahulu harus melalui proses yang panjang dan waktu yang tidak sebentar yang disebut juang kapat. Dalam proses ini, seorang calon balin harus melakukan proses berayah selama 10 kali yang didalamnya proses tersebut memuat proses belajar memahami diri sendiri. Seorang balin dalam proses yang panjang tersebut harus melakukan pantangan-pantangan dan puasa. Proses ini salah satunya bertujuan untuk dapat lebih memahami diri sendiri. Proses rayah Bekapak Hakam Ragam yang merupakan salah satu proses yang harus dilakukan calon balin adalah proses penyucian diri dari segala pantangan yang dilakukan selama sebagai orang biasa. Di atas semuanya itu  seorang balin harus menjalani proses pengerjaan ladang yang harus dia kerjakan dari kegiatan membakar ladang, menanam benih dan memanen yang harus dia kerjakan sendiri. Ia harus mempu memahami diri dan alam lingkungan di sekitarnya.

C. KESIMPULAN
            Pada ritual proses menjadi balin sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, calon balin harus menjalani proses yang mengikuti proses orang berladang terutama bertanam padi sebagai tanaman utamanya sebagaimana diketahui bahwa salah satu prosesnya yang cukup besar adalah ketika bunting padi. Melalui kegiatan yang panjang, seorang balin dilatih untuk memahami dan menghargai proses kehidupan dengan kesabaran.
  Kecerdasan lokal dalam aktivitas saman atau balin pada budaya Dayak Kalimantan, ketujuh kecerdasan yang diungkap oleh Gardner teroperasikan secara kait mengkait. Tidak hanya salah satu kecerdasan yang dituntut dalam profesi balin tetapi ketujuh kecerdasan tersebut saling melengkapi sehingga seorang balin dapat mampu melakukan tugas dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan dihadapi masyarakatnya. Namun demikian dari ketujuh macan kecerdasan tersebut, kecerdasan Bodily-kinesthetic, intrapersonal dan interpersonal yang paling menonjol sementara bentuk kecerdasan spatial lebih dimaknai secara metafisik, bukan ruang dalam arti fisik.

Daftar Pustaka
Yusnono, Paulus., dkk., 2004, ”Shamanisme pada Masyarakat adat Dayak Kalimantan Barat: Antara Ada dan Tiada”, dalam Dayakologi, volume I nomor 2, Juli, Mitra Kasih, Pontianak.
Istiyani, Chatarina Pancer., 2007, ”Boretn Terakhir”, dalam Srinthil, edisi 014 Agustus, Depok.
Bamba, John., ed., 2008, Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institute Dayakologi, Pontianak.
Bamba, John., 2003, Dayak Jalai di Persimpangan Jalan, Institute Dayakologi, Pontianak.
Effendy, Bisri., dan Asman Aziz., 2007, “Balian Bawe Serangkai Kisah dari Kalimantan Timur”, dalam Srinthil, edisi 014 Agustus, Depok.
Haryo AMZ, Roedy., 2007, “Balian: Ritual yang Tersisa dari Peradaban Silam”,  dalam Srinthil, edisi 014 Agustus, Depok.
Dananjaya, James.,  2007, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah” dalam Koentjaraningrat, 2004, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cetakan keduapuluh, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Dove, Michael.R., 1987, “Mitos Rumah Panjang ‘Komunal’ Dalam Pembangunan Pedesaan: Kasus Suku di Kalimantan”, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Penyunting: Michel R. Dove, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hoffman, Carl.L., ‘Punan Liar’ di Kalimantan: Alasan Ekonomis”, Dalam Pembangunan Pedesaan: Kasus Suku di Kalimantan”, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Penyunting: Michel R. Dove, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
King, Victor T., 1987, “Kedudukan Sosial Dan Perubahan Sosial di Kalngan Suku Maloh, Kalimantan Barat”, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Penyunting: Michel R. Dove, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Koentjaraningrat, 2004, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Cetakan keduapuluh satu, Gramedia, Jakarta.
Tjilik Riwut, 2007, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Cetakan kedua, NR Publishing, Yogyakarta.
Nurita Putranti, 2007, “Kecerdasan Majemuk”, (http://nuritaputranti.wordpress. com/2007/11/27/kecerdasan majemuk, up date November 27, 2007, acces 31 Mei 2009).
Brualdi, Amy C., 1996,Multiple Intelligences: Gardner's Theory. ERIC Digest.  file:///M:/Gardner/multiple.htm, up date Sept 1996, akses 14 Okt 2009
Smith, Mark K., 2008, Howard gardner, multiple intelligences and education http://www.infed.org/thinkers/gardner.htm, file:///M:/Gardner/gardner.htm, akses 14 okt 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar