Selasa, 08 November 2011

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA:
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Oleh: Rizal Mustansyir
A.    Pendahuluan

Perbincangan tentang ideologi terbuka telah dimulai sejak tahun 1985 sejak jaman Orde Baru. Keterbukaan yang dimaksud disini ialah nilai dasarnya tetap, namun penjabarannya dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis sesuai dengan gerak perkembangan bangsa Indonesia dan tuntutan jaman. (Moerdiono, 1992: 388). Sebuah ideologi yang tertutup  memang terkesan kaku dan cenderung mendikte masyarakatnya dengan doktrin-doktrin yang harus dilaksanakan tanpa sikap kritis Ideologi semacam ini terjadi pada komunisme di Uni Soviet, sehingga ketika terjadi gelombang reformasi glasnost dan perestroika yang digagas oleh Michael Gorbachev, maka ideologi komunis itu runtuh, akibatnya Uni Soviet terpecah menjadi beberapa negara seperti: Rusia, Uzbekistan, Checnya, dan lain-lain. (Mohammad Noor Syam, 2009: 19).
Dewasa ini ideology besar di dunia yang masih kuat bertahan adalah liberalism, karena mereka mengusung tema kebebasan individual, meskipun dalam kenyataan tidak ada kebebasan individual yang bersifat mutlak. Sesungguhnya kekuatan liberalism terletak pada penguasaan pasar dunia dan kontrol terhadap sumber daya alam melalui berbagai politik luar negeri mulai dari diplomasi sampai kekuatan senjata. Amerika merupakan contoh nyata tentang kekuatan ideology liberalism ini. Bahkan Negara Cina yang semula merupakan sarang ideologi komunis, sejak era Deng Xiao Ping mulai berpaling kepada Liberalisme, sehingga kekuatan ekonomi Cina sekarang sudah berubah dari naga tidur (di era Komunis) menjadi naga yang bangkit menggeliat dan mampu bersaing di era global sejajar dengan Amerika, Jepang, dan Negara Eropa lainnya. Kalau di era tahun 1970-an sampai 1990-an terjadi persaingan antara dua ideologi besar dunia, yaitu komunisme dan liberalisme, maka sekarang terjadi persaingan antara sesama ideologi liberalism yang diusung oleh Negara yang berbeda. Peta pertarungan ideologis bergeser dari semangat ideologis ke arah pertarungan ekonomi. Kekuatan ekonomi Asia diwakili oleh Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Kekuatan ekonomi Eropa didominasi oleh Jerman, Perancis, dan Inggeris; sedangkan benua Amerika masih dikuasai oleh Amerika Serikat.
Bagaimana dengan Negara-negara lainnya, termasuk Indonesia dengan ideologi Pancasila di kancah persaingan global semacam ini? Apakah ideologi Pancasila mampu bertahan di tengah ideologi besar dunia lainnya? Apa harapan dan kenyataan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini dengan kedudukan Pancasila sebagai ideologi terbuka?.


B.     Pembahasan

1.      Pengertian dan Fungsi Ideologi

Ideologi merupakan sebuah keyakinan dalam kehidupan individual maupun kelompok. Ideologi dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai  yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami jagat  raya dan bumi seisinya serta menentukan  sikap dasar untuk mengolahnya. Ideologi sesungguhnya merupakan produk budaya masyarakat, sehingga dengan sendirinya merupakan perwujudan kenyataan sosial. (Soerjanto, 1992: 47). Sulit dibayangkan suatu kelompok masyarakat, apalagi bangsa, yang tidak memiliki ideologi, karena tanpa ideologi hidup menjadi gersang, tidak ada pegangan. Agama itu sendiri pada hakikatnya merupakan sebuah ideologi, namun tentu saja didasari keyakinan yang bersifat ukhrowi.
Sastrapratedja mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan  yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada 3 unsur yang terkandung dalam sebuah ideologi, yaitu pertama; adanya penafsiran (interpretasi) atau pemahaman terhadap kenyataan. Kedua, setiap ideologi memuat seperangkat nilai atau preskripsi moral. Ketiga, ideologi memuat orientasi pada tindakan, sehingga dapat menjadi pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya. (Satraprateja, 1992: 142).
Soerjanto juga memerinci beberapa fungsi ideologi sebagai berikut.
Pertama; struktur kognitif, yakni keseluruhan pengetahuan yang dapat menjadi dasar untuk memahami dan menafsirkan peristiwa di sekitarnya.
Kedua; orientasi dasar yang membuka wawasan dan memberi makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
Ketiga; norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.
Keempat; bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
Kelima; kekuatan yang mampu menyemangati dan memotivasi seseorang untuk mencapai tujuan.
Keenam; pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma yang terkandung di dalamnya. (Soerjanto, 1992: 48).

2.      Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Sebuah ideologi yang tertutup seperti halnya ideologi komunis lebih mudah mengalami keruntuhan. Mengapa demikian? Karena ideologi yang menutup diri dari pengaruh eksternal berarti mengalami stagnan. Dinamika yang berkembang di luar seperti modernisasi, globalisasi, tidak semuanya negatif, ada sisi positif yang perlu dipertimbangkan untuk memajukan kesejahteraan dan membuka wawasan masyarakat. Dengan demikian sebuah ideologi dikatakan terbuka menurut Soerjanto (1992: 59) karena dihadapkan pada berbagai masalah yang muncul silih berganti  melalui refleksi yang rasional dan reinterpretasi yang kritis. Sebuah ideologi yang terbuka mengandung cita-cita dan nilai yang mendasar dan tidak langsung bersifat operasional, sehingga perlu dijabarkan secara dinamis.
Sebuah ideologi yang terbuka harus siap menghadapi tantangan dan berbagai masalah yang berkembang dalam kehidupan masyarakat di tengah pergaulan dengan bangsa lain. Menurut Soerjanto, meskipun ideologi Pancasila itu bersifat terbuka, namun di dalamnya mengandung tiga dimensi, yaitu teleologis, etis, dan integral-integratif. Dimensi teleologis artinya pembangunan harus mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mewujudkan cita-cita proklamasi 1945 antara lain, mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Dimensi etis artinya, martabat manusia mempunyai kedudukan yang sentral, sehingga proses pembangunan di Indonesia harus diarahkan pada upaya untuk mengangkat derajat manusia yang bermoral. Dimensi integral-integratif artinya manusia tidak hanya dipandang secara individualis, melainkan sebagai bagian dari sistem. (Soerjanto, 1992: 60).
Dengan demikian sebuah ideologi terbuka harus bersifat fleksibel, namun tidak meninggalkan nilai-nilai dasarnya. Ideologi Pancasila dapat berkembang mengikuti semangat perkambangan jaman dan modernitas, namun tidak boleh menghilangkan nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah, dan keadilan. Sebab kelima nilai ini merupakan hakikat dari ideology Pancasila, apabila salah satu dari kelima nilai dasar tersebut dihilangkan, berarti ideology Pancasila sudah kehilangan identitasnya.

3.      Pancasila Dalam Kenyataan

Belum semua cita-cita bangsa dapat dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi pertumbuhan suatu bangsa yang relatif masih muda (64 tahun), maka hasil yang dicapai dewasa ini tidak terlalu buruk, meskipun belum dapat dikatakan baik. Cita-cita yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 seperti: memajukan kesejahteraan umum (ekonomi), mencerdaskan kehidupan bangsa (pendidikan), dan melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia (pertahanan & keamanan) masih dihadapkan pada berbagai tantangan.
Tantangan dalam bidang ekonomi meliputi antara lain; masih tingginya tingkat pengangguran, besarnya utang luar negeri, belum meratanya penghasilan warga masyarakat, kuatnya pengaruh kapitalisme (berdirinya mall-mall yang menggeser pasar-pasar tradisonal). Beberapa komoditas yang dihasilkan rakyat kecil mulai tumbuh dan berkembang seperti: batik, kerajinan tangan, garmen, namun belum mampu bersaing dengan pemodal-pemodal besar.
Bidang pendidikan mengalami kemajuan yang cukup pesat, namun pada tingkat pendidikan tinggi (universitas) hanya dapat dijangkau oleh sebagian kecil anggota masyarakat yang kebanyakan kelompok menengah keatas. Pendidikan masih memihak kepada kelompok elit masyarakat, terutama di perkotaan. Fasilitas pendidikan di pedesaan umumnya memprihatinkan, karena jauh dari akses pusat kekuasaan.
Bidang pertahanan keamanan Indonesia jauh tertinggal di bandingkan dengan Negara tetangga, Malaysia, Singapura, bahkan dengan Vietnam. Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang dimiliki TNI dan Polri kebanyakan sudah berusia tua, sehingga sering terjadi kecelakaan pesawat terbang milik TNI dan Polri yang merisaukan masyarakat. Belum lagi dihadapkan pada ancaman Negara tetangga yang mengklaim pula-pulau terluar Indonesia seperti Ambalat, Indonesia seakan tidak berdaya (powerless) karena kekurangan fasilitas pendukung yang memadai untuk mempertahankan wilayah Indonesia dari agresi pihak luar. Bahkan untuk mempertahankan kedaulatan wilayah dari para penjarah kekayaan laut Indonesia saja, bangsa kita kewalahan karena minimnya fasilitas pendukung seperti kapal patrol yang dapat bergerak cepat.
Kendatipun demikian semangat untuk mempertahankan tanah air dari ancaman pihak luar patut diacungi jempol, meskipun semangat saja belum cukup, karena harus didukung pula sistem persenjataan yang canggih. Dalam hal ini adagium yang dilontarkan Thomas Hobbes masih relevan, yaitu Bellum pacis patter (Perang bapak perdamaian), dan Si Vis Pacem para bellum ( Jika ingin perdamaian siapkan perang).
  
4.      Pancasila Sebagai Harapan

Suatu bangsa yang relijius dengan mencantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, harus memiliki semangat dan harapan pada masa depan yang lebih baik. Beberapa bentuk harapan itu meliputi antara lain sebagai berikut.
Pertama, membaiknya perekonomian bangsa yang diikuti dengan meningkatnya penghasilan masyarakat, sehingga mampu hidup secara layak. Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 64 tahun adalah kewajaran apabila setiap terjadi prosesi kepemimpinan, maka hal pertama yang diharapkan masyarakat ialah membaiknya perekonomian nasional. Beberapa indikator perbaikan ekonomi nasional antara lain: harga bahan kebutuhan pokok stabil (tidak mengalami kenaikan), terbukanya lapangan kerja sehingga memperkecil jumlah pengangguran, pelayanan kesehatan yang baik dan murah, harga BBM stabil.
Kedua, setiap keluarga menginginkan perubahan terhadap anggota keluarga dan salah satu yang terpenting bagi terjadinya perubahan itu ialah kesempatan untuk memperoleh pendidikan dengan biaya yang murah (bahkan gratis), fasilitas pendidikan yang memadai (terutama di daerah-daerah terpencil), kualitas pendidikan yang diikuti dengan kemudahan untuk memperoleh pekerjaan
Ketiga, dalam rangka mempertahankan wilayah dan kedaulatan bangsa Indonesia dari agresi pihak luar, maka persenjataan (alutsista) dan profesionalitas TNI dan Polri perlu ditingkatkan dengan menambah anggaran pertahanan, sehingga bangsa Indonesia dapat memiliki persenjataan yang canggih dan mampu menggunakannya secara professional. Di samping fasilitas dan kemampuan profesionalitas, maka pendapatan atau gaji para petugas pertahanan dan keamanan perlu ditingkatkan untuk mendatangkan rasa aman dan dihargai.
C.       Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, sebuah ideologi terbuka mengandung cita-cita dan nilai yang mendasar yang bersifat dinamik dan dapat direinterpretasi sesuai dengan kebutuhan jaman. Namun hal itu tidak berarti sebuah ideologi harus selalu berubah seiring dengan perkembangan jaman, ideologi juga harus mampu menyaring pengaruh dari luar, sehingga dapat mereduksi unsur-unsur negatif yang terbawa serta dalam proses modernisasi dan globalisasi.
Kedua,  tantangan terhadap ideologi Pancasila berkaitan dengan cita-cita yang dikandungnya, yaitu masalah rendahnya pertumbuhan ekonomi, elitis bidang pendidikan, minimnya anggaran dan fasilitas pertahanan keamanan, sehingga bangsa Indonesia belum disegani dalam arti harga diri dan kemampuan profesionalitas di tengah pergaulan dengan bangsa lain.
Ketiga, harapan masyarakat Indonesia terhadap ideologi Pancasila, yaitu dinamika dan reinterpretasi pada tingkat operasionalitas mampu menghasilkan perundang-undangan yang berpihak kepada rakyat kecil seperti: perlindungan kepada warga untuk dapat mengenyam dan meningkatkan pendidikan, mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, perbaikan tingkat penghasilan, peluang untuk berusaha dalam rangka mendukung perekonomian keluarga, rasa aman terhadap ancaman dari luar.

Sumber Acuan
Mohammad Noor Syam, 2009, Sistem Filsafat Pancasila, dalam Kongres Pancasila Kerjasama Universitas Gadjah Mada dan Mahkamah Konstitusi RI, Yogyakarta.
Sastraprateja, 1992, “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Budaya”, dalam Pancasila Sebagai Ideologi, BP-7 Pusat, Jakarta.
Soerjanto Poespowardojo, 1992, “Pancasila Sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama”, dalam Pancasila Sebagai Ideologi, BP-7 Pusat, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar