Minggu, 11 Desember 2011

Filsafat Tanda Charles Sanders Peirce dalam Perspektif Filsafat Analitis dan Relevansinya bagi Budaya Kontemporer di Indonesia


FILSAFAT TANDA CHARLES SANDERS PEIRCE
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ANALITIS DAN
RELEVANSINYA BAGI BUDAYA KONTEMPORER
DI INDONESIA


A.     Pendahuluan
                      
Tanda merupakan salah satu kebutuhan lahir batin manusia untuk memahami dinamika kehidupannya. Peran tanda dalam kehidupan manusia bahkan setara dengan kebutuhan primer seperti: makan dan minum. Kekurangan makan dan minum menjadikan manusia menderita secara fisik, namun kemiskinan pemahaman akan tanda menjadikan manusia kehilangan momen penting dalam hidupnya bahkan derita batin yang berkepanjangan. Peran tanda yang bersifat alami membutuhkan interpretasi  dan momen yang tepat, sebab dapat berakibat fatal, ketika manusia keliru di dalam membaca tanda tersebut. Tanda bukan sekadar aksesori kehidupan, melainkan salah satu faktor utama kualitas dan kebutuhan hidup manusia  sekaligus isi makna hidup itu sendiri.
Tanda merupakan juga jejak dalam pengertian yang lebih luas bisa dipahami pula sebagai identitas  yang ditinggal seseorang atau sesuatu, sehingga dapat diidentifikasi secara cermat.Tanda mempermudah manusia dalam memahami makna kehidupan sekaligus menjadikan manusia lebih bersikap logis-rasional dalam mengambil suatu kesimpulan. Traffic light menjadikan pemakai jalan bersifat logis-rasional ketika memacu kendaraannya di jalan raya, sehingga meminimalkan terjadinya kecelakaan.
Kehidupan di sekitar manusia dipenuhi dengan berbagai macam tanda, baik yang dapat ditafsir langsung maupun yang membutuhkan pemahaman secara lebih mendalam.  Tanda melibatkan aktivitas mental dan pikiran manusia, sehingga horizon manusia mengalami pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan memaknai tanda. Manusia dalam hubungannya dengan pemahaman makna tanda menurut Chandler menempatkan manusia sebagai mahluk yang membuat makna, Homo significansmeaning makers (Chandler, 2002: 17). Tanda melibatkan aktivitas mental dan pikiran manusia, sehingga cakrawala pemikiran manusia mengalami pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan memaknai tanda.

Kontribusi Pemikiran Ludwig Wittgenstein atas Filsafat Kontemporer

KONTRIBUSI PEMIKIRAN LUDWIG WITTGENSTEIN
ATAS FILSAFAT KONTEMPORER
Oleh: Rizal Mustansyir


A.    Pendahuluan

Dewasa ini filsafat dipahami sebagai bidang kajian yang setara dengan disiplin ilmu lain, meskipun masih ada sebagian ilmuwan yang menganggap filsafat tidak lebih daripada sekadar aktivitas eksklusif yang dilakukan segelintir orang untuk mempersoalkan hal-hal yang kurang penting. Bahkan adapula sebagian ilmuwan yang tidak tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan oleh para filsuf, sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia. Apa pun yang ditudingkan dan dilabelkan atas diri para filsuf dan ahli filsafat, tidaklah mengurangi aktivitas filsafati dalam sejarah peradaban dan pemikiran manusia. Filsafat sejak jaman Yunani Kuno telah menebar pengaruh yang besar dalam sejarah pemikiran manusia, terutama dengan diletakkannya dasar teoritis bagi cikal bakal pengembangan pemikiran ilmiah melalui logos, ethos,  dan  pathos.
Sokrates (470 SM-399 SM) telah menanamkan pengaruh pemikirannya atas generasi muda pada masa itu melalui metode maijetike tekhne dengan cara memancing diskusi mereka yang dipandang pakar pada jamannya, sehingga kebenaran dapat dilahirkan melalui cara yang kritis. Sayangnya Sokrates tidak meninggalkan karya tulis yang dapat disimpan sebagai monumen historis. Plato (368 SM-277 SM) melanjutkan tradisi Sokrates  dengan karya tulis dalam berbagai bidang seperti: politik, etika, metafisika, epistemologi. Landasan filsafati yang ditinggalkan Plato melanjutkan tradisi besar yang diukir oleh Herakleitos dan Parmenides. Menurut Plato Herakleitos benar dalam pernyataannya yang termasyhur Panta Rhei kai ouden menei, segala sesuatu di dunia ini selalu mengalir, tidak ada yang bersifat tetap. Parmenides juga benar menurut Plato dengan konsepnya tentang sesuatu yang tetap, tidak berubah. Inspirasi pemikiran kedua filsuf Herakleitos dan Parmenides itu disintesiskan Plato ke dalam konsep metafisika tentang The One  and The Many, hal satu dan hal banyak. Hal satu yang bersifat tetap ada dalam dunia ide, hal banyak yang selalu berubah ada dalam dunia bayang-bayang.Plato termashur terutama karena teorinya tentang Bentuk-Bentuk atau Ide-ide sebagai suatu entitas yang abstrak dan universal. (Magee, 2001: 27). Aristoteles (384 SM-322 SM) melangkah lebih lanjut dengan konsepnya tentang realitas, bahwa pemahaman kita tentang realitas bukan pada konsep yang bersifat umum sebagaimana halnya pada Plato, namun justeru pada realitas konkrit yang bersifat tunggal. Hal yang penting bagi kita menurut Aristoteles bukanlah perihal “ke-pohon-an”, melainkan “pohon tertentu”  yang ditangkap oleh indera dan diolah oleh pemikiran kita.

Scientific Research Programs Imre Lakatos sebagai Langkah Metodologis Menuju Teori Ilmiah


SCIENTIFIC RESEARCH PROGRAMS IMRE LAKATOS
SEBAGAI LANGKAH METODOLOGIS MENUJU TEORI ILMIAH

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan berawal dari keingintahuan manusia (curiosity) atas fenomena yang ada di sekitarnya atau pun tentang dirinya sendiri. Pada awalnya hasrat untuk mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos berhasil tertanam di pikiran manusia, karena keterbatasan pikiran manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh penjelasan yang masuk akal. Mitos langsung menyelinap ke dalam pikiran manusia tanpa prosedur ilmiah, ia lebih merupakan produk budaya yang bersedimentasi dalam benak masyarakat tanpa respons kritis.
Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan mitos-mitos melalui penjelasan ilmiah yang dapat memuaskan dahaga  keingintahuan manusia. Meskipun penjelasan ilmiah yang diajukan pada suatu periode belum tentu dapat memuaskan komunitas ilmuwan pada periode yang lain. Kendatipun demikian penjelasan ilmiah menuntut alur berpikir logis yang bermuara pada teori ilmiah. Sebuah teori ilmiah pada hakikatnya ialah kumpulan pernyataan, baik yang bercorak simbolik maupun tidak, yang mampu mengakomodasi fakta yang ada di sekitarnya.
Sejarah peradaban manusia memperlihatkan berbagai produk ilmiah  yang mampu menggiring umat manusia ke arah kemajuan. Stephen F Mason dalam karyanya A History of Sciences (1962: 11) mengatakan:
”Science, as we know it today, was a comparatively late product of the general development of human civilization. Prior to the modern period of history, we cannot say that there was much of a scientific tradition, distinct from the tradition of the philosophers on the one hand, and that of the craftsmen on the other. The roots of science, however, ran deep, streching back to the period before the appearance of civilization”.