Minggu, 11 Desember 2011

Kontribusi Pemikiran Ludwig Wittgenstein atas Filsafat Kontemporer

KONTRIBUSI PEMIKIRAN LUDWIG WITTGENSTEIN
ATAS FILSAFAT KONTEMPORER
Oleh: Rizal Mustansyir


A.    Pendahuluan

Dewasa ini filsafat dipahami sebagai bidang kajian yang setara dengan disiplin ilmu lain, meskipun masih ada sebagian ilmuwan yang menganggap filsafat tidak lebih daripada sekadar aktivitas eksklusif yang dilakukan segelintir orang untuk mempersoalkan hal-hal yang kurang penting. Bahkan adapula sebagian ilmuwan yang tidak tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan oleh para filsuf, sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia. Apa pun yang ditudingkan dan dilabelkan atas diri para filsuf dan ahli filsafat, tidaklah mengurangi aktivitas filsafati dalam sejarah peradaban dan pemikiran manusia. Filsafat sejak jaman Yunani Kuno telah menebar pengaruh yang besar dalam sejarah pemikiran manusia, terutama dengan diletakkannya dasar teoritis bagi cikal bakal pengembangan pemikiran ilmiah melalui logos, ethos,  dan  pathos.
Sokrates (470 SM-399 SM) telah menanamkan pengaruh pemikirannya atas generasi muda pada masa itu melalui metode maijetike tekhne dengan cara memancing diskusi mereka yang dipandang pakar pada jamannya, sehingga kebenaran dapat dilahirkan melalui cara yang kritis. Sayangnya Sokrates tidak meninggalkan karya tulis yang dapat disimpan sebagai monumen historis. Plato (368 SM-277 SM) melanjutkan tradisi Sokrates  dengan karya tulis dalam berbagai bidang seperti: politik, etika, metafisika, epistemologi. Landasan filsafati yang ditinggalkan Plato melanjutkan tradisi besar yang diukir oleh Herakleitos dan Parmenides. Menurut Plato Herakleitos benar dalam pernyataannya yang termasyhur Panta Rhei kai ouden menei, segala sesuatu di dunia ini selalu mengalir, tidak ada yang bersifat tetap. Parmenides juga benar menurut Plato dengan konsepnya tentang sesuatu yang tetap, tidak berubah. Inspirasi pemikiran kedua filsuf Herakleitos dan Parmenides itu disintesiskan Plato ke dalam konsep metafisika tentang The One  and The Many, hal satu dan hal banyak. Hal satu yang bersifat tetap ada dalam dunia ide, hal banyak yang selalu berubah ada dalam dunia bayang-bayang.Plato termashur terutama karena teorinya tentang Bentuk-Bentuk atau Ide-ide sebagai suatu entitas yang abstrak dan universal. (Magee, 2001: 27). Aristoteles (384 SM-322 SM) melangkah lebih lanjut dengan konsepnya tentang realitas, bahwa pemahaman kita tentang realitas bukan pada konsep yang bersifat umum sebagaimana halnya pada Plato, namun justeru pada realitas konkrit yang bersifat tunggal. Hal yang penting bagi kita menurut Aristoteles bukanlah perihal “ke-pohon-an”, melainkan “pohon tertentu”  yang ditangkap oleh indera dan diolah oleh pemikiran kita.
Tradisi pemikiran filosofis dari ketiga tokoh ini berlanjut pada jaman Pertengahan (The Middle Age) yang memadukan pemikiran filsafati dengan dogma agama, sehingga berlaku semboyang Ancilla Theologia, filsafat merupakan pelayan dan sarana pembenar dogma agama. Thomas Aquinas memodifikasi pemikiran Aristoteles untuk memperkuat konsep theologis, terutama dalil pembuktian Tuhan secara rasional. Namun jaman Pertengahan terjebak ke dalam cara pandang satu dimensi yang hanya menjastifikasi dogma agama, sehingga perkembangan ilmiah yang terjadi pada masa itu—yang berbeda dengan pemikiran para theolog—dianggap sesat dan murtad. Copernicus yang mencoba meralat teori geosentris menjadi heliosentris dianggap mengkhianati gereja, sehingga harus diadili. Reaksi atas intervensi theologis dalam ranah ilmiah-filsafati mulai bermunculan, sehingga melahirkan Renaissance yang meneriakkan kebebasan untuk berpendapat seperti pada jaman keemasan Yunani, semangat individualistik, tolok ukur yang rasionalistik, cara pandang yang optimistik, dan semangat inovatif dan kreatif untuk menemukan hal-hal baru. Francis Bacon (1521-1626) dapat dianggap sebagai tokoh Renaissance yang meneriakkan dengan lantang adagium Knowledge is power. Penemuan mesiu, kompas, dan mesin cetak merupakan bukti nyata menggeliatnya semangat manusia untuk mengembangkan kemampuan pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan konkrit. Kendatipun demikian Francis Bacon mengingatkan adanya idola (berhala) pikiran (idols of mind) yang dapat mengganggu aktivitas pemikiran ilmiah, yakni idola  theatri, fori, specus, dan tribus. Idola theatri  aneka ragam sistem filsafat yang sering digunakan secara keliru untuk memandang realitas. Idola fori  ditimbulkan oleh kesalahpahaman dalam percakapan di anatara sesama manusia karena manusia sering mencampuradukkan antara bahasa dan realitas. Idola specus; setiap orang memiliki sarang atau gua pribadinya yang menghalangi sekaligus mewarnai alam menurut seleranya sendiri. Idola tribus kecenderungan untuk percaya pada pada bukti yang disodorkan  oleh pancaindera, padahal indera kerapkali menipu. (Magee, 2002: 77). Kontribusi penting lainnya dari Francis Bacon adalah diperkenalkannya metode induksi untuk aktivitas ilmiah, yang sebelumnya didominasi metode deduksi.
Bagaimana pun jaman antara Renaissance  dan Aufklarung kontribusi pemikiran Rene Descartes (1596-1650) tidak dapat diabaikan, karena ia peletak dasar munculnya skeptis-metodis dalam sejarah pemikiran manusia. Ada tiga tahap pemikiran untuk menemukan kepastian menurut Descartes. Pertama; mempertimbangkan pengalaman berdasarkan pengamatan secara langsung. Kedua; mempertimbangkan keyakinan  bahwa kita sedang melakukan sesuatu padahal kemungkinan itu hanya sebuah mimpi atau halusinasi. Ketiga; hanya satu yang tidak boleh diragukan, yaitu diriku yang sedang dalam keadaan ragu-ragu, Cogito Ergo Sum. (Magee, 2002: 86-87). Descartes dipandang oleh para komentator sebagai tokoh Rasionalisme dan peletak dasar ilmu-ilmu moderen.
Jaman Aufklarung, jaman Pencerahan atau jaman Fajar Budi melahirkan tokoh besar sekaliber Immanuel Kant (1725-1804). Adagium yang dikumandangkan pada masa ini adalah Sapere Aude, beranilah berpikir sendiri,  bebas dari intervensi mana pun agar para filsuf dan ilmuwan memiliki otonomi dan kebebasan untuk mengekspresikan pemikiran-pemikirannya.  Aufklarung dapat dipandang sebagai peletak dasar bagi kemunculan jaman Moderen. Immanuel Kant memperkenalkan epistemologi baru yang  revolusioner, sehingga oleh banyak komentator dipandang sebagai Revolusi Kopernikans II. Menurut Kant, hal yang bisa dijangkau oleh pemikiran manusia adalah fenomenon, bukan noumenon, karena yang belakangan itu lebih merupakan Das Ding an Sich. Ada empat kategori yang ada dalam pikiran manusia, yaitu Quantity, Quality, Relation, and Modality yang masing-masing dipecah ke dalam tiga, sehingga dikenal dengan dua belas kategori Kant. Kategori Quantity terdiri atas: unity, plurality, and totality. Kategori Quality terdiri atas reality, negation, and limitation. Kategori Relation terdiri atas substance, cause, and community. Kategori Modality terdiri atas possibility, existence, and necessity. (Graham Priest, 2002: 76). Kategori-kategori inilah yang mampu menjangkau objek di luar dirinya atau fenomenon itu tadi, sedangkan yang noumenon tetap tinggal dalam dirinya sendiri. Salah satu kontribusi penting Immanuel Kant terhadap filsafat terletak pada upaya mensistesiskan perseteruan epistemologis antara rasionalisme dengan empirisisme. Titik tolak epistemologis rasionalisme adalah bentuk putusan yang bersifat analitik- a priori, sedangkan empirisisme bersifat sintetik - a posteriori. Menurut Kant kedua kubu epistemologis tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kekuatan kubu rasionalisme terletak pada sifat kebenarannya yang absolut, pasti; sedangkan kekuatan kubu empirisisme terletak pada pengertian baru yang ditimbulkan atas dasar metode induktif. Namun kedua kubu juga memiliki kelemahan, rasionalisme tidak memberi pengertian baru, sedangkan emprisisme sifat kebenarannya relatif. Oleh karena itu Kant menawarkan bentuk putusan yang sintetik-a priori, mengandung kebenaran yang pasti dan menimbulkan pengertian baru. (Hamersma, 1983: 29). Filsafat Kant mengandung suatu kritik terhadap seluruh filsafat yang mendahuluinya sekaligus membuka perspektif baru bagi filsafat berikutnya, namun Kant sendiri belum memberi suatu penyusunan yang positif. (Hadiwijono, 1980: 82).
Jaman moderen ditandai dengan beberapa temuan dan kemunculan ilmuwan seperti: Isaac Newton dengan teori graviasi dan karya monumentalnya yang berjudul The Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. August Comte (1798-1857) dengan hukum tiga tahap, yaitu tahap theologis, tahap metafisika, dan tahap positif. (Hadiwijono, 1980: 110-111). Semangat positivistik menjadi sangat dominan pada masa ini, istilah positif dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat pasti (Exactly), jernih dan terpilah (Clear & distinct), dapat diukur (measurable), pragmatik. Pada masa ini pula ilmu mencapai puncak kejayaannya dengan corak mono-metodologis, sehingga ilmu-ilmu sosial menggunakan patokan pikir seperti ilmu-ilmu kealaman. Semangat unity of science yang dilandasi gaya pikir positivistik perlahan namun pasti mulai menuai kritik dari beberapa filsuf seperti Wilhelm Dilthey  yang membedakan dua kajian ilmiah, Naturwissenschaften (ilmu kealaman) dan Geisteswissenschaften (ilmu kerohanian/kemanusiaan). Dilthey menawarkan metode hermeneutika bagi pendekatan terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan yang berbeda corak dan karakteristiknya dari ilmu-ilmu kealaman. Menurut Dilthey metode verstehen lebih tepat dipergunakan dalam ilmu kemanusiaan, sedangkan metode erklaren lebih tepat untuk ilmu kealaman. Dikotomi metodologis yang dilakukan Dilthey ini kelak berkembang pada jaman kontemporer menjadi pluri-metodologis.
Jaman Kontemporer diwarnai dengan kemunculan berbagai mainstream seperti: Eksistensialisme, Fenomenologi, Filsafat Analitik, Postmodernisme. Penelitian ini hanya memfokuskan diri pada salah satu tokoh Filsafat Analitik, yaitu Ludwig Wittgenstein dan kontribusinya terhadap Postmodernisme.

B.     Pembahasan
1.      Filsafat Kontemporer
Satu hal yang bisa dikatakan tentang jaman kontemporer ialah; tidak mudah dan tidak sederhana untuk mengidentifikasi dan mengenali karakteristik pada masa ini, karena banyaknya aliran dan tokoh yang mengekspresikan pemikirannya dengan corak dan gaya yang berbeda satu sama lain. Kontemporer bisa dimaknai sebagai semangat jaman yang mengoreksi jaman modern. Kendatipun  demikian ada beberapa karakteristik yang dapat dipandang mewakili semangat jaman Kontemporer ini. Salah satu gerakan yang paling menonjol pada era ini adalah Posmodernisme yang melancarkan kritik pedas terhadap proyek modernism yang dipandang mengumbar janji untuk mencapai emansipasi kemanusiaan dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tiadanya rasa aman sebagai sesuatu yang tidak lagi dianggap masuk akal. (Turner, 2000: 39). Ada beberapa karakteristik yang cukup dominan pada jaman kontemporer ini.
Pertama; pluralitas dapat dianggap sebagai salah satu karakteristik pada jaman kontemporer, karena ide tentang keberagaman justeru banyak diusung oleh para filsuf pada masa ini, yaitu Posmodernisme atau Pascamodernisme. Ada dua orientasi Pascamodernisme, yaitu Pascamodernisme skeptik dan pascamodernisme afirmatif. Penganut Pascamodernisme skeptis menegaskan bahwa setelah modernism yang ada hanyalah pluralism radikal, artinya tidak ada kebenaran tunggal yang berperan sebagai pusat . Tokoh-tokoh yang dipandang sebagai pendukung Pascamodernisme skepts ini antara lain: Michel Foucault, Roland Barthes, Derrida, Richard Rorty, dan Lyotard. Pascamodernisme afirmatif menolak tendensi nihilisme, bagi mereka pluralism tidak serta merta meniscayakan nihilism dan menyangkal ide tentang kebenaran, namun lebih meletakkan kebenaran  dalam konteks lokal dan mini naratif. (Sahal, 1993: 66-67). Pluralitas itu mencakup pula masalah metodologis, sehingga tokoh seperti Feyerabend menawarkan metode apa saja sah (Anything goes) dalam dunia ilmiah. Wittgenstein dalam Philosophical Investigations memotret multiformitas permainan dalam kehidupan sehari-hari seperti: permainan catur, kartu, bola, dan lain-lain. (Wittgenstein,1983 : 31).  
Kedua; Relativitas merupakan isu yang banyak dilontarkan para filsuf Posmodernisme, karena lenyapnya kebenaran absolut sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang tersisa hanyalah kebenaran relatif, karena pada masa itu kriteria pemikiran yang paling dominan adalah Positivisme. Relativitas berarti pengakuan bahwa setiap satuan budaya memiliki kriteria, kebenaran, dan makna sendiri. Tidak ada lagi kebenaran yang dianggap sebagai landasan bersama, masing-masing tidak bisa diperbandingkan (incommensurable) dan berada dalam derajat setara. Gellner mengungkapkannya sebagai berikut:
“Knowledge or morality is, it claims, a chimera: each culture must roll its own knowledge and morality. Meanings are incommensurable, meanings are culturally constructed, and so all cultures are equal. Cross-cultural or cross-semantic investigation is only possible if the dignity and equality of the other culture is respected. (Gellner, 1992: 73)

Relativitas ini termasuk wacana yang berkembang seputar metodologi. Toeti Heraty Noerhadi menyatakan bahwa salah satu persoalan yang menjadi perhatian khusus dewasa ini ialah persoalan meta-metodologi. Persoalan tersebut terkait dengan gagasan untuk mempertanyakan sejauh mana ilmu-ilmu mempunyai titik tolak metodis yang sama. Kalau pun terdapat perbedaan titik tolak metodis antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lain, bagaimana sifat perbedaan di antara berbagai disiplin ilmu tersebut. Kalau di jaman modern ada upaya untuk menyatukan ilmu (unified science melalui mono-metolodologis, maka dewasa ini yang dihadapi justeru pluri-metodologis. (Toeti Heraty, 1994: 3-4). Problem pluri-metodologis inilah yang paling banyak mewarnai pemikiran tokoh posmodernisme, salah seorang di antaranya ialah Paul Feyerabend.
Ketiga; diskursus tentang kebenaran yang lebih berorientasi pada runtuhnya klaim atas kebenaran absolut dalam perdebatan epistemologis. Menurut Sudarminta paradoks kontemporer tentang kebenaran terlihat pada munculnya dua sikap ekstrem, yaitu krisis kepercayaan terhadap setiap klaim kebenaran yang diusung dan dipengaruhi oleh Relativisme-skeptis di satu pihak, dan  klaim kebenaran mutlak yang dikumandangkan kelompok fundamentalis agama dan kaum dogmatis-ideologis di pihak lain. (Sudarminta, 2007: 1-2). Richard Rorty dalam karyanya   Philosophy and  Social  Hope menegaskan bahwa dalam filsafat kontemporer kebenaran itu tidak berkorespondensi dengan realitas, Truth without correspondence to Reality. Dalam salah satu pernyataannya Rorty mengilustrasikan tentang ketidaktahuan kita bahwa -nilai pandangan Heidegger tentang kebenaran dan rasionalitas itu berasal dari fakta bahwa ia adalah seorang nazi. (Rorty, 1999: 23-24). Pernyataan Rorty ini merupakan sebuah sindiran bahwa nilai moralitas, rasionalitas yang kita tuangkan dalam karya-karya kita tidak merupakan jaminan dapat kita laksanakan dalam dalam kehidupan kita yang nyata. Turner lebih jauh mengedepankan pandangan posmodernisme bahwa berbagai spesialisasi dalam ilmu merupakan strategi utama era modern sebagai bentuk kesepakatan bahwa realitas bisa dibagi, sebagai akibat dari upaya yang serius untuk mencapai kebenaran yang dilakukan kelompok sosial dalam mencari kekuasaan. Pandangan ini secara khusus menjelaskan sentralitas tesis Nietzsche, the will to power, dalam epistemologi kontemporer yang menunjukkan bahwa pencarian kebenaran selalu berarti membangun kekuasaan. (Turner, 2000: 9). Dalam BASIS no.
No11-12, Tahun ke-49, November-Desember 2000. Edisi Khusus: NIETZSCHE Si Pembunuh Tuhan , Nietzsche mengatakan: “Apa itu kebenaran? Sekumpulan perumpamaan, metonimia, dan ungkapan-ungkapan manusiawi. Singkatnya, kebenaran adalah kumpulan hubungan antar manusia yang telah didandani, diatur, dan dicat secara puitis dan retoris. Setelah lama digunakan, kumpulan ini menjadi kokoh, mutlak dan orang-orang diharuskan untuk menaati dan mengikutinya. Kebenaran adalah ilusi karena orang sering lupa asal-usulnya: perumpamaan yang sudah kadaluarsa dan tidak menarik; uang logam yang sudah hilang gambarnya dan sekarang hanyalah sebuah besi tua, bukan lagi uang logam”.
 Keempat; tema local-narrative lebih digemari daripada grand-narrative. Menurut Lyotard runtuhnya mitos certa besar yang digantikan cerita kecil menandai lahirnya sebuah era kontemporer yang dinamakan Posmodernisme.     ( Lyotard, 1984: 302). Menurut Turner, Lyotard dalam The Postnodern Condition menggunakan language-games,  permainan bahasa untuk menganalisis apa yang dianggapnya sebagai jaman. (Turner, 2000: 183).  Language-games itu sendiri berasal dari ide Wittgenstein dalam Philosophical Investigations yang mengacu pada keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari dengan penekanan pada aspek use, bukan pada logika bahasa semata, sehingga meaning is in use, makna terletak pada penggunaannya merupakan indikasi pragmatik dan makna secara kontekstual. The meaning of a word is its use in the language (Wittgenstein, 1984: 20).
2.      Pokok Pemikiran Ludwig Wittgenstein
a.      Inti Pemikiran Ludwig Wittgenstein I

Ludwig Wittgenstein dikenal sebagai salah seorang filsuf abad keduapuluh yang menanamkan pengaruh besar dalam filsafat kontemporer melalui dua magnum opus nya, yaitu Tractatus Logico - Philosophicus dan The Philosophical Investigations. Kedua karyanya itu menanamkan pengaruh yang besar dalam sejarah Filsafat Barat Kontemporer   Karya pertama, Tractatus-Logico Philosophicus  mewakili pemikiran Wittgenstein periode pertama (I), sedangkan Philsophical Investigations mewakili pemikiran Wittgenstein periode kedua II).  Tractatus Logico-Philosophicus ditulis pada saat Perang Dunia I berisikan 7 dalil utama sebagai berikut.

1.      The  world is everything that is the case.
2.       What is the case, the fact, is the existence of atomic facts (states of affairs).
3.      The logical picture of  the facts is the thought.
4.      The  thought is the significant proposition.
5.      Proposition is a truth-functions of elementary propositions.
   (An elementary proposition is a truth-function of itself).
6.      The general form of truth-function is proposition: {p,ξN(ξ)
7.      Whereof one cannot speak, thereof one must be silent. (Wittgenstein, 1985).

Dalil pertama merupakan sebuah sikap metafisik baru yang berbeda dengan metafisika sebagaimana yang dikemukakan para filsuf terdahulu bahwa dunia atau realitas itu adalah segala sesuatu yang sedemikian. Istilah “yang sedemikian (case)” dimaknai dalam dalil berikutnya. Dalil kedua menegaskan tentang keberadaan state of affairs. Apa yang dimaksud dengan yang sedemikian itu, tak lain adalah fakta, yaitu keberadaan fakta-fakta atomic (state of affairs). Beberapa komentator, termasuk Bertens mengomentari bahwa state of affairs merupakan sebuah keyakinan metafisik yang bercorak pluralistik. (Bertens,1981: 43-44). Dalil ketiga menegaskan bahwa gambaran logis fakta itu adalah pikiran, atau bisa dikatakan bahwa pikiran itu mencerminkan gambaran logis fakta. Dalil ketiga ini pula yang kemudian dikembangkan menjadi teori gambar (The Picture Theory). Dalil keempat menyatakan bahwa pikiran itu merupakan proposisi yang mengandung makna, artinya hasil pikiran yang baik dapat disusun ke dalam suatu proposisi. Dalil kelima; proposisi adalah fungsi kebenaran dari proposisi elementer, sedangkan sebuah proposisi elementer tak lain merupakan fungsi kebenaran dirinya sendiri. Dalil keenam; bentuk umum fungsi kebenaran merupakan proposisi yang dituliskan dengan notasi atau symbol logika sebagaimana dalil keenam di atas yang mengekspresikan proposisi sebagai elemen atau anggota dari seluruh pernyataan tentang dunia, yaitu bahasa. Dalil ketujuh; menegaskan sikap penolakan terhadap sesuatu yang bersifat inexpressible, yaitu hal yang dinamakan The Mystically. Ada 3 hal yang dinamakan sebagai The Mystically oleh Wittgenstein, yaitu Subjek, Kematian, dan Tuhan.
Subjek menurut Wittgenstein tidak termasuk ke dalam dunia, melainkan hanya terletak pada batas dunia, Subject does not belong to the world but it is  a limit of the world.(T: 5.632). Karena perdebatan tentang subjek merupakan wacana yang berkembang dalam wilayah metafisika dan banyak dibicarakan oleh para filsuf (eksistensialisme). Kematian yang juga merupakan tema yang sering dibicarakan dalam metafisika atau wilayah agama menurut Wittgenstein bukanlah sebuah peristiwa kehidupan, karena kematian tidak dilalui dalam kehidupan. Death is not an event  of life. Death is not lived through. (T:6.4311). Unsur the Mystically ketiga yang dicap Wittgenstein sebagai sesuatu yang bersifat inexpressible adalah Tuhan yang tidak pernah menampakkan dirinya di dunia, God does not reveal  himself in the world. (T:6.432),  karena itu mengungkapkan tentang keberadaan Tuhan dalam bahasa yang logis merupakan sesuatu yang tidak bermakna (senseless). Ketiga hal tersebut tidak dapat dibicarakan dan diungkapkan ke dalam proposisi yang logis, oleh karena itu sesuatu yang tidak dapat dipikirkan secara logis sebaiknya didiamkan saja.
            Pengakuan Wittgenstein I tentang ketiga hal The Mystically tersebut di atas mempertegas sikap filosofisnya atas keterbatasan bahasa dalam mengungkapkan realitas, sehingga ia mengatakan:” The limits of my language mean the limits of my world. (5.6) . Pada bagian akhir Tractatus Logico-Philosophicus, Wittgenstein bahkan membubarkan filsafatnya sendiri dengan mengatakan sebagai berikut:

My propositions are elucidatory In this way: he who understands me finally recognizes them as senseless, when he has climbed  out through them, on them, over them. (He must so to speak throw away the ladder, after he has climbed up on it.) He must surmount these propositions; then he sees the world rightly”. (Tractatus: 6.54).

Proposisi atau bahasa yang dipergunakan dalam memotret realitas pada akhirnya tidak lagi menjadi penting manakala kita telah memahami maksudnya, karena bahasa ibarat anak tangga untuk memanjat ke atas, apabila kita telah mengatasi bahasa sehingga kita mampu melihat realitas secara benar, maka bahasa tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian pada gilirannya bahasa juga merupakan sesuatu yang dianggap senseless.
 Bertrand Russell (1985; 7) dalam kata pengantar Tractatus Logico -Philosophicus  mengomentari karya Wittgenstein itu sebagai upaya pembentukan bahasa filsafat  yang ideal yang mengandung logika bahasa, bermakna unik dan terbatas. Kemudian Russell memerinci pemikiran Wittgenstein tersebut dalam lima kategori persoalan sebagai berikut. Pertama; persoalan psikologi yaitu makna dalam pikiran kita di saat menggunakan bahasa. Kedua; persoalan epistemology yaitu relasi antara pikiran, bahasa, dan sesuatu yang diacu atau maknanya . Ketiga; persoalan kalimat yang terkait dengan  penggunaan kalimat seperti menyampaikan kebenaran lebih utama daripada kesalahan. Keempat; persoalan acuan yakni  apakah  setiap kalimat  harus mencerminkan satu fakta. Kelima; persoalan logis,  kondisi terbentuknya simbolisme yang akurat, artinya setiap kalimat mengandung arti yang terbatas dan pasti, meski dalam kenyataannya, bahasa  biasanya kabur, apa yang disampaikan tidak pernah benar-benar tepat.
b.      Inti Pemikiran Ludwig Wittgenstein II
b.1. Latar Belakang Pemikiran Wittgenstein II.

Alur pemikiran Wittgenstein periode kedua terdapat dalam Philosophical Investigations. Buku ini terdiri dari sekitar 232 halaman dan ditulis dengan gaya yang berbeda daripada Tractatus Logico-Philosophicus. Philosophical Investigations ditulis ke dalam dua bagian, bagian pertama (Part I) terdiri atas 693 tema dengan berbagai contoh dan ilustrasi. Bagian kedua (Part II) terdiri atas 55 halaman tanpa dibatasi tema-tema tertentu. Dalam kata pengantarnya Wittgenstein antara lain menulis:
Four years ago I had occasion to re-read my first book (The Tractatus Logico-Philosophicus) and to explain its ideas to someone. It suddenly seemed to me that I should publish those old thoughts and the new ones together; that the latter could be seen in the right light only by contrast with and against the background of my old way of thinking”. (Wittgenstein, 1983: viii)

 Jelas bahwa Wittgenstein berupaya mengembangkan ide yang pernah ditulisnya dalam Tractatus ke dalam Philosophical Investigations dalam bentuk dan gaya yang berbeda. Hal ini didasarkan pada perubahan cara pandangnya terhadap bahasa sehari-hari (ordinary language). Kalau Tractatus memihak pada bahasa logika, maka Philosophical Investigations justeru memihak kepada bahasa kehidupan, sehari-hari.
                  
b.2. Language-Games

            Tema utama pemikiran Wittgenstein II terletak pada pemikirannya tentang Language-games. Terminologi language-games  menurut Wittgenstein bertitik tolak dari kenyataan bahwa wicara bahasa merupakan bagian dari aktivitas  atau bentuk kehidupan yang diungkapkannya sebagai berikut:
Here the term”language-games” is meant to bring into prominence the fact that the speaking of language is part of an activity, or of a form of life. Review the multiplicity of language-games in the following examples, and in others: Giving orders, and obeying them; Describing the appearance of an object, or giving its measurements; Constructing an object from a description; Reporting an event; Speculating about an event; Forming and testing a hypothesis; Presenting the results of an experiment in tables and diagram; Making up a story and reading it; Play-acting; Singing catches; Guessing riddles; Making a joke, telling it; Solving a problem in practical arithmetic; Translating from one language into another, Asking, thanking, cursing, greeting, praying”. (Wittgenstein, 1983: 11-12)

Berbagai contoh dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan keanekaragaman permainan bahasa seperti: memberi perintah, menggambarkan penampakkan suatu objek, membentuk suatu objek, melaporkan suatu peristiwa, bahkan bertanya, berterimakasih, memaki, dan mengucapkan salam termasuk permainan bahasa. Dalam hal ini Wittgenstein membandingkan keanekaragaman alat dalam bahasa dan cara alat itu digunakan, keanekaragaman jenis kata dan bahasa di sini serupa dengan apa yang dikatakan para ahli logika bahasa tentang struktur bahasa. (Wittgenstein, 1983: 12).
Dalam periode kedua ini Wittgenstein tidak lagi terlalu berorientasi pada makna logis bahasa, karena banyak hal dalam kehidupan ini yang kelihatannya tidak mencerminkan struktur logis namun dapat dipahami oleh orang yang bersangkutan. Sebagai contoh, seorang anak kecil yang memberi nama pada boneka-boneka kesayangannya, kemudian si anak itu membicarakan dan berbicara kepada boneka-boneka tersebut, ini pun mencerminkan suatu bentuk permainan bahasa. (Wittgenstein, 1983: 13).

b.3. Rule of The Games

            Sebuah permainan akan kehilangan makna apabila tidak didasarkan atas sebuah aturan, karena roh dari sebuah permainan itu adalah aturan (rule of the games). Wittgenstein dalam Philosophical Investigations  banyak memberikan contoh tentang permainan seperti: catur, permainan anak, dan lain sebagainya. Namun setiap permainan mencerminkan adanya sebuah aturan yang membatasi perminan tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih antara permainan yang satu dengan yang lain. Wittgenstein menegaskan sebagai berikut:
Let us recall the kinds of case where we say that a game is played according to a definite rule. The rule may be an aid in teaching the game. The learner  is told it and given practice in applying it. Or it is an instrument of the game itself. Or a rule is employed neither in the teaching nor in the game itself; nor is it set down in a list of rules. One learns the game by watching  how others play. But we say that it is played according to such - and – such rules because an observer can read these rules off from the practice of the game – like a natural – law governing the play. (Wittgenstein, 1983: 26-27)

Sebuah permainan dilakukan sesuai dengan aturan yang membatasi, sekaligus aturan merupakan sebuah bantuan yang mengajarkan pada kita arti sebuah permainan. Setiap orang yang mempelajari sebuah permainan pada prinsipnya berlatih menerapkan aturan dalam permainan tersebut. Aturan adalah instrument dari permainan itu sendiri.
            Lebih lanjut Wittgenstein menegaskan bahwa setiap permainan memiliki keunikan dan aturan yang khas, sehingga tidak ada aturan yang berlaku secara umum dalam seluruh permainan. Wittgenstein mengatakan sebagai berikut:
Consider for example the proceedings that we call “games”. I mean board-games, card-games, ball-games, Olympic-games, and so on. What is common to them all?—Don’t say :”There must be something common, or they would not be called ‘games’ – but look and see whether there is anything common to all. For if you look at them you will not see something that is common to all, but similarities, relationship, and a whole series of them at that. To repeat: don’t think, but look!”(Wittgenstein, 1983: 31)

Penekanan pada aturan permainan yang tidak berlaku secara umum dalam kutipan diatas enunjukkan bahwa semangat pluralitas yang terdapat dalam filsafat Wittgenstein sangat dominan. Kemudian aspek pragmatik yang ditegaskan dalam pernyataan lihat dan pahami (look and see), jangan pikirkan tapi lihat (don’t think, but look) menunjukkan bahwa Wittgenstein  menekankan realitas sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan nyata, bukan sesuatu yang direkayasa oleh pikiran.
            Aturan  main menjadi sedemikian penting utuk menangkap hakikat dari permainan itu sendiri, sehingga  Wittgenstein menggambarkan contoh permainan catur  sebagai berikut:
But, after all the game is supposed to be defined by the rules! So if a rule of the game prescribes that the kings are to be used for drawing lots before a game of chess, then that is an essential part of the game. What objection might one make to this? That one does not see the point of this description. Perhaps as one wouldn’t see the point either of a rule by which each piece had to be turned round three times before one moved it. If we found rule in a board-game we should be surprised and should speculate about the purpose of the rule. (Was this prescription meant to prevent one from moving without consideration?)”. (Wittgenstein, 1983: 150-151)

Pernyataan ini menyiratkan kekaguman Wittgenstein atas suatu aturan main dalam permainan catur yang sedemikian rinci mengatur irama permainan, sehingga seseorang yang terlibat dalam permainan tersebut berpikir dengan penuh pertimbangan setiap kali menggerakkan biji catur ketika menghadapi lawan mainnya.

b.4. Kemiripan Keluarga (Family Resemblances)

Hal lain yang muncul dalam pemikiran Wittgenstein ialah  ialah bahwa bisa terdapat kemiripan dan keterhubungan tidak dalam arti aturan itu berlaku secara umum. Kemiripan tersebut mencerminkan kenyataan yang ada dalam berbagai kehidupn manusia, termasuk permainan bahasa, sehingga Wittgenstein menyatakan:
“We see a complicated network of similarities overlapping and criss-crossing: sometimes overall similarities, sometimes similarities of detail. I can think of no better expression to characterize these similarities than “family resemblances”, for the various between members of a family: build, features, colour of eyes, gait, temperament, etc, overlap and criss-cross in the same way. And I shall say” ‘games’ form a family.” (Wittgenstein, 1983: 32)

            Kemiripan pada anggota keluarga seperti: bentuk tubuhnya, warna matanya, cara berjalan, dan temperamennya silang menyilang dan saling tumpang tindih dalam cara yang sama merupakan analogi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana keterhubungan (relationship) penggunaan kata dalam bahasa memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks penggunaannya.

b.5.  Duck-Rabbit

            Wittgenstein dalam bagian II buku Philsophical Investigations mengungkapkan gagasan tentang bagaimana cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu sesuai dengan cara pandang atau sudut pandang si subjek. Dalam hal ini bisa terjadi perbedaan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam memahami dan menafsirkan suatu objek. Ia menyatakan hal itu sebagai berikut:
The importance of this is the difference of category between the two  objects of sight. The one man might make an accurate drawing of the two faces, and the other notice in the drawing the likeness which the former did not see.. I contemplate a face, and then suddenly notice its likeness to another. I see tht it has not changed; and yet I see it differently. I call this experience noticing an aspect. We are interested in the concept and its place among the concepts of experience. (Wittgenstein, 1983: 193)

Cara pandang subjek terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang ia miliki, sehingga sebuah objek dapat dilihat pada sisi yang berbeda oleh beberapa subjek. Gambar berikut sebagai ilustrasi untuk menjelaskan pandangan Wittgenstein di atas.

Wittgenstein mengomentari gambar di atas sebagai berikut:
I see two pictures, with the duck-rabbit surrounded by rabbits in one, by ducks in the other. I do not notice that they are the same. Does it follow from this that I see something different in the two cases? It gives us a reason for using this expression here. ‘I saw it quite differently, I should never have recognized it!’” (Wittgenstein, 1983: 194)

Dengan demikian memaksakan cara pandang kita terhadap orang lain, sejauh pikiran dan interpretasi yang diajukannya berbeda dari apa yang kita kemukakan tidak dapat dilakukan, karena penafsiran atas suatu objek sama halnya dengan melaporkan persepsi kita tentang sesuatu. I am reporting my perception. The expression of a change of aspect is the expression of a new perception and at the same time of the perception’s being unchanged”, ujar Wittgenstein. (1983: 195). Cara pandang dan perubahan cara pandang ini mengindikasikan bahwa kepastian atas kebenaran suatu objek sangat tergantung pada persepsi subjek.

3.      Kontribusi Wittgenstein atas Filsafat Kontemporer
3.1.Kontribusi terhadap Positivisme Logis

Nama besar Ludwig Wittgenstein tertulis dalam sejarah pemikiran Barat abad Keduapuluh, karena kedua karyanya yang termasyhur, yakni Tractatus Logico-Philosophicus dan Philosophical Investigations mendapat tanggapan pro dan kontra dalam dunia filsafat. Ada beberapa pokok pemikiran Wittgenstein yang memberikan kontribusi penting bagi perkembangan Filsafat Barat Kontemporer.
Karya pertamanya, Tractatus menanamkan pengaruh besar terhadap gerakan Positivisme Logis yang bermula dari Lingkungan Wina (Viena Circle). Tokoh besar Positivisme Logis, Alfred Jules Ayer, mengembangkan pemikirannya atas dasar inspirasi Tractatus, terutama ide tentang proposisi analitik. Menurut pandangan Ayer, berbagai bentuk kata yang tersusun secara gramatika akan membentuk kalimat. Setiap kalimat indikatif apakah itu bermakna atau tidak diungkapkan dalam sebuah statemen. Proposisi yang disiapkan untuk diungkapkan melalui kalimat merupakan sesuatu yang bermakna. Ayer menegaskannya dalam pernyataan berikut:
“Any form of words that is grammatically significant shall be held to constitute a sentence. Every indicative sentence whether it is literally meaningful or not shall be regarded as expressing a statement. Proposition will be reserved for what is expressed by sentences which are literally meaningful”. (Ayer, 1952:8)

Sebagaimana yang diungkapkan Wittgenstein dalam Tractatus, proposisi yang diperlukan dalam dunia filsafat adalah proposisi yang mencerminkan realitas. Namun di samping itu ada pula proposisi analitik yang mengandung symbol-simbol logis, hal inilah yang dikembangkan Ayer dalam pernyataan berikut.
A proposition is analytic if it is true solely in virtue of the meaning of its constituent symbols, and cannot therefore be either confirmed  or refuted  by any fact of experience. (Ayer, 1952: 16).
 Dengan demikian Ayer tidak berhenti pada proposisi analitik, ia juga mengidentifikasi proposisi empirik, yaitu sebuah pernyataan yang dapat diuji kebenarannya berdasarkan pengalaman. Perihal pengujian inilah yang dikembangkan Ayer melalui prinsip verifikasi, sebagaimana dikemukakannya sebagai berikut
“The principle of verification is supposed to furnish a criterion by which it can be determined whether or not a sentence is literally meaningful.
A simple way to formulate it would be to say that a sentence had literal meaning if and only if the proposition it expressed was either analytic or empirically verifiable”. (Ayer, 1952: 5)

Namun sebagaimana yang terjadi dalam perkembangan filsafat, pemikiran Positivisme Logis ini justeru menuai reaksi di kalangan filsuf kontemporer, terutama dalam kawasan Filsafat Ilmu. Upaya standarisasi ilmiah yang dilakukan Positivisme Logis melalui prinsip Verifikasi ditentang oleh Karl Raimund Popper melalui prinsip Falsifikasi,  sedangkan standarisasi metodologis Positivisme Logis ditentang oleh Feyerabend. Dengan demikian terjadi pengaruh berantai dari Wittgenstein terhadap Positivisme Logis, kemudian mengundang reaksi di kalangan filsuf kontemporer seperti: Popper dan Feyerabend.

3.2.Kontribusi terhadap Ide Pluralitas Posmodernisme

Pengaruh pemikiran Wittgenstein terhadap gerakan Posmodernisme beranjak dari ide-ide yang dikembangkan dalam Philosophical Investigations. Ide-ide tentang Language-games, Rule of the game, Family Resemblances berimbas langsung terhadap Posmodernisme. Teori Language-games dikembangkan oleh J.F.Lyotard untuk memotret fenomena masyarakat kapitalis. Karya Lyotard yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on Knowledge merupakan sebuah laporan tentang pengetahuan, ilmu, dan teknologi dalam masyarakat kapitalis yang sudah maju. Lyotard mengritik masyarakat sebagai bentuk kesatuan (unicity) sebagaimana halnya jati diri kebangsaan atau nasional sudah mulai kehilangan kredibilitasnya. Ia menolak bentuk metanarasi, yakni anggapan bahwa setiap masyarakat itu diperlukan demi kebaikan semua anggotanya, kemudian keseluruhan mempersatukan bagian-bagian. Ada dua metanarasi tentang pengetahuan yang dikritisi Lyotard. Pertama; pengetahuan itu ada demi pengetahuan itu sendiri (gaya idealism Jerman). Kedua; gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul bagi subjek-manusia yang berupaya menemukan kebebasannya (gaya eksistensialisme). Menurut Lyotard legitimasi terhadap pengetahuan tidak bisa bersandar pada satu narasi besar (grand narrative), disinilah dibutuhkan analisis yang tepat melalui teori “permainan bahasa” yang diusung oleh Wittgenstein. (Lechte, 2001: 373).
            Menurut alur pemikiran Lyotard sebagaimana diungkapkan Lechte, ilmu adalah sebuah permainan bahasa yang mengikuti aturan sebagai berikut:

“(1). Yang bersifat ilmiah adalah pernyataan denotative (deskriptif).
(2). Pernyataan ilmiah berbeda dengan pernyataan yang menekankan ikatan social. (3). Kompetensi hanya diperlukan pada pengirim pesan ilmiah, bukan penerimanya (4). Pernyataan ilmiah hanya ada dalam sekumpulan pernyataan yang diuji oleh argument dan bukti.
(5). Dalam kaitannya dengan butir (4), permainan bahasa ilmiah memerlukan suatu pengetahuan tentang situasi pengetahuan ilmiah yang sedang berlangsung. Untuk bisa dilegitimasikan, ilmu tidak memerlukan suatu narasi, karena aturan-aturan ilmu itu bersifat imanen dalam permainannya.” (Lechte, 2001: 374)

Dalam pemikiran Lyotard menurut pemahaman Lechte  berlaku prinsip performativitas yang mendominasi permainan bahasa ilmiah, yakni “keluaran maksimum dari masukan yang minimum”, artinya teknologi merupakan cara yang paling efisien untuk mendapatkan bukti ilmiah, sehinga ditetapkan hubungan antara kekayaan, efisiensi, dan kebenaran. Jaman posmoderen terjadi persinggungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Namun muncul paradigm baru posmoderen, yaitu paradgma yang menekankan ketidakdapatramalan, ketidakpastian, catastrophe, khaos, terutama paralogi atau disensus yang menentang aturan main yang ada. (Lechte (2001: 374-375).

3.3.Kontribusi Terhadap Ide Pluri-Metodologis Posmodernisme

Perbedaan cara pandang sebagaimana yang dikemukakan dalam konsep Duck-Rabbits  di atas mempengaruhi alur pemikiran tentang metodologi dari yang semula mono-metodologis –sebagaimana yang disuarakan kaum Positivisme Logis—menjadi pluri-metodologis. Alah seorang filsuf postmodern yang gigih menentang dominasi mono-metodologis itu ialah Feyerabend dalam karyanya Against Method. Feyerabend menegaskan tentang hal itu sebagai berikut:
No theory ever agrees with all the facts in its domain, yet it is not always the theory that is to blame. Facts are constituted by older ideologies, and a clash between facts and theories may be proof of progress. It is also a first step in our attempt to find the principles implicit in familiar observational notions. (Feyerabend, Against Method, 1978: 55)

Tidak ada sebuah teori yang berlaku bagi seluruh fakta, sehingga kalau terjadi perbedaan lantaran cara pandang yang berbeda, maka hal tersebut lumrah saja. Hal terpenting bagi Feyerabend adalah tidak perlu mengkhawatirkan perbenturan antara fakta dan teori, karena hal itu justeru membuktikan kemajuan ilmu. Lebih lanjut Feyerabend menegaskan:
“Science needs people who are adaptable and inventive, not rigid imitators of ‘established’ behavioral patterns. Each organization, party, religious group has a right to defend its particular form of life and all standards it contains. But scientists go much further. (Feyerabend, 1978: 216)

Ilmu memerlukan masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sekaligus mampu menemukan hal-hal baru (invention), bukannya kelompok peniru hal-hal yang sudah mapan. Untuk itulah ilmuwan harus dibedakan kelompok lainnya yang bertahan dengan bentuk hidup yang standar, sebab tugas ilmuwan adalah melahirkan sesuatu yang baru dengan penafsiran dan metodologi yang ia yakini dapat mencapai kebenaran, tanpa harus terikat secara kaku (rigid) dengan metodologi tunggal yang sudah mapan. Oleh karena itu gagasan yang menyatakan bahwa ilmu itu harus sesuai dengan aturan yang universal dan pasti merupakan hal yang tidak realistik dan menimbulkan dampak negatif yang serius bagi kemajuan ilmu Feyerabend menegaskan hal itu dalam pernyataan berikut:
“The idea that science can, and should, be run according to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the attempt to enforce the rules is bound to increase our professional qualifications at the expense of our humanity” (http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/ge/feyerabe.htm)
Dengan demikin tidak ada validitas bagi satu pun metodologi untuk menjadi hukum universal yang mapan, dalam ungkapan Feyerabend yang terkenal: Anything goes!
            Dalam karyanya yang lain yang berjudul Farewell to Reason, Feyerabend menuding bahwa perusakan lingkungan, kemiskinan, dan berbagai penyakit yang muncul di Negara-negara berkembang disebabkan ulah peradaban Barat yang mendewakan akal dan objektivitas.  Menurut Feyerabend, gagasan tentang objektivitas itu lebih tua daripada ilmu dan tidak tergantung pada ilmu. Kritik Feyerabend terhadap teknologi industri moderen bertitik tolak dari penafsirannya atas pemikiran Donald Heyneman yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi industri memiliki karakteristik berupa: kontrol, penyeragaman secara relatif, dan penyederhanaan atas problem lingkungan, bentuk penguasaan terhadap sejumlah spesies, termasuk manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan, sehingga pada level yang lebih tinggi terjadi perusakan lingkungan dan homogenisasi masyarakat industri dalam seluruh sistem politik dan ekonomi dunia. Kesemuanya itu menurut Feyerabend mengatasnamakan akal dan objektivitas. (Feyerabend, 2002: 5).
C.    Penutup
Kendati sulit untuk mengidentifikasi ciri pemikiran filsafat kontemporer, namun melalui penelusuran historis, rekam jejak filsafat kontemporer dapat juga dikenali. Filsafat melalui dua pendekatan, yakni sistematis dan historis akan mendatangkan hasil yang berbeda. Pendekatan sistematik masuk ke dalam alur percabangan filsafat  seperti: metafisika, epistemology, aksiologi, dan seterusnya. Namun pendekatan sistematik terhadap filsafat kontemporer mengalami cukup banyak kesulitan, mengingat beberapa filsuf kontemporer cenderung menabuh genderang kematian atas beberapa cabang filsafat seperti: metafisika bahkan epistemology. Oleh karena itu pendekatan historis kiranya lebih memadai mengingat dalam dunia filsafat aksi dan reaksi merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Penelusuran historis filsafati hingga bermuara ke pemikiran tokoh filsafat analitik, Ludwig Wittgenstein, merupakan upya untuk memahami apa sesungguhnya yang menjadi isu utama filsafat dalam era kontemporer ini.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka isu utama filsafat yang mencuat di era kontemporer ini antara lain: pluralitas yang bercermin dalam pemikiran language-games Wittgenstein. Isu kedua ialah relativitas kebenaran, artinya tidak ada kebenaran yang berlaku mutlak dalam semua situasi, yang ada hanyalah kebenaran sesuai dengan konteks atau hal yang melingkupinya. Hal ini senada dengan gagasan Family Resemblances Wittgenstein yang dimaksudkan sebagai cara pandang kemiripan anggota keluarga yang satu atas anggota yang lain, untuk menegaskan tak adanya kemutlakan dalam kehidupan manusia. Isu ketiga terkait dengan local-narrative sesungguhnya menyuarakan ketidakpuasan terhadap dominasi grand-narrative yang cenderung memberangus fenomena konkret masyarakat semisal kearifan lokal (local wisdom). Dalam pemikiran Wittgenstein periode kedua, tidak ada aturan yang berlaku umum bagi semua bentuk permainan, yang ada ialah rule of the games bagi masing-masing permainan. Isu keempat terkait dengan pluri-metodologis sebagaimana yang disuarakan oleh Feyerabend senada dengan pemikiran Wittgenstein tentang cara pandang berbeda sehingga melahirkan interpretasi yang berbeda melalui konsep Duck-rabbits. Pada gilirannya pandangan belakangan ini melahirkan prinsip incommensurability dalam kancah Filsafat Ilmu, yakni dua atau beberapa teori dikatakan tak terbandingkan, karena tidak ada cara untuk membandingkan mereka satu sama lain, sehingga tidak dapat ditentukan bahwa teori yang satu lebih baik daripada teori yang lain. (http://encyclopedia thefreedictionary.com/Commensurability+(philosophy+of+science).

Daftar Pustaka
Ayer, Alfred, Jules., 1952, Language, Truth, and Logic, Dover publications, Oxford.
Basis, No11-12, Tahun ke-49, November-Desember 2000. Edisi Khusus: NIETZSCHE Si Pembunuh Tuhan. Kanisius.Yogyakarta
Bertens, Kees., 1981, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Gramedia, Jakarta.
Feyerabend, Paul., 1978, Against Method, Verso, New York.
-----------------------.,2002, Farewell to Reason, Verso, New York.
Gellner, Ernest., 1992, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge, London.
Hadiwijono, Harun., 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta.
Hamersma, Harry., 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen, Gramedia, Jakarta.
Lechte, John., 2001, 50 Filsuf Kontemporer,  Diterjemahkan dari: Fifty Key Contemporary Thinkers, oleh: A.Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta.
Magee, Bryan., 2001, The Story of Philosophy, Penerjemah: Marcus Widodo & Hardono Hadi,  Kanisius, Yogyakarta
Priest, Graham., 2002, Beyond the Limits of Thought, Clarendon Press, Oxford.
Rorty, Richard., 1999, Philosophy and Social Hope, Penguin Books, London.
Sahal, Ahmad., 1993, “Agama dan Tantangan Posmodernisme”, dalam Islamika, no. 2 Oktober-Desember 1993, Jakarta.
Sudarminta., 2007, “Diskursus Tentang Kebenaran: Dari Fenomenologi Husserl sampai ke Dekonstruksi Derrida”, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Thn. XXIX   no.2/2007.
Toeti Heraty., 1994, Dialig Filsafat Dengan Ilmu-ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar Meta-Metodologi, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Luar Biasa  Pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 23 November 1994, Jakarta.
Turner, Bryan., 2000, Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas, Penerjemah: Imam Baehaqi dan Ahmad Baidlowi, judul asli: The Theories of Modernity and Postmodernity, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wittgenstein, Ludwig, 1985, Tractatus-Logico Philosophicus, Routledge Kegan Paul Ltd, London.
Wittgenstein, Ludwig., 1983, Philosophical Investigations, Translated by: G.E.M. Anscombe, Basil Blackwell, Oxford.

1 komentar:

  1. di buku anda tertulis "intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme" ini dari segi apanya pak yang di berdebatkan itu?

    BalasHapus