Minggu, 11 Desember 2011

Filsafat Tanda Charles Sanders Peirce dalam Perspektif Filsafat Analitis dan Relevansinya bagi Budaya Kontemporer di Indonesia


FILSAFAT TANDA CHARLES SANDERS PEIRCE
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ANALITIS DAN
RELEVANSINYA BAGI BUDAYA KONTEMPORER
DI INDONESIA


A.     Pendahuluan
                      
Tanda merupakan salah satu kebutuhan lahir batin manusia untuk memahami dinamika kehidupannya. Peran tanda dalam kehidupan manusia bahkan setara dengan kebutuhan primer seperti: makan dan minum. Kekurangan makan dan minum menjadikan manusia menderita secara fisik, namun kemiskinan pemahaman akan tanda menjadikan manusia kehilangan momen penting dalam hidupnya bahkan derita batin yang berkepanjangan. Peran tanda yang bersifat alami membutuhkan interpretasi  dan momen yang tepat, sebab dapat berakibat fatal, ketika manusia keliru di dalam membaca tanda tersebut. Tanda bukan sekadar aksesori kehidupan, melainkan salah satu faktor utama kualitas dan kebutuhan hidup manusia  sekaligus isi makna hidup itu sendiri.
Tanda merupakan juga jejak dalam pengertian yang lebih luas bisa dipahami pula sebagai identitas  yang ditinggal seseorang atau sesuatu, sehingga dapat diidentifikasi secara cermat.Tanda mempermudah manusia dalam memahami makna kehidupan sekaligus menjadikan manusia lebih bersikap logis-rasional dalam mengambil suatu kesimpulan. Traffic light menjadikan pemakai jalan bersifat logis-rasional ketika memacu kendaraannya di jalan raya, sehingga meminimalkan terjadinya kecelakaan.
Kehidupan di sekitar manusia dipenuhi dengan berbagai macam tanda, baik yang dapat ditafsir langsung maupun yang membutuhkan pemahaman secara lebih mendalam.  Tanda melibatkan aktivitas mental dan pikiran manusia, sehingga horizon manusia mengalami pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan memaknai tanda. Manusia dalam hubungannya dengan pemahaman makna tanda menurut Chandler menempatkan manusia sebagai mahluk yang membuat makna, Homo significansmeaning makers (Chandler, 2002: 17). Tanda melibatkan aktivitas mental dan pikiran manusia, sehingga cakrawala pemikiran manusia mengalami pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan memaknai tanda.

B.     Pokok-pokok Pemikiran C.S.Peirce

1.      Landasan Filsafat Tanda (Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis)
Landasan ontologis tanda artinya setiap tanda  dalam kehidupan manusia memiliki dimensi ada yang terkait dengan realitas yang terkandung di balik tanda itu sendiri. Landasan ontologis tanda dalam pemikiran Peirce menurut Merrel (1991: 4-6) terlihat dalam konsep kontinyuitas yang menggiring pemikiran Peirce ke arah fallibilisme. Doktrin kontinyuitas mengajarkan bahwa segala sesuatu  itu mengalir terus-menerus, the doctrine of continuity is that all things so swim in continua  (Peirce, 1998, Volume 1: 70).
Landasan epistemologis tanda artinya setiap tanda merupakan cara mengetahui tentang realitas yang diwakilinya. Tanda dalam berbagai bentuknya seperti: isyarat, kode, ucapan, bahasa, dan lain sebagainya  mengandung pola pengetahuan sekaligus metode penyampaian, sehingga dimensi epistemologis merupakan kebutuhan pokok yang menyertai kehadiran tanda dalam kehidupan manusia. Pemikiran epistemologi Peirce menegaskan bahwa sebuah tanda atau representamen adalah hal pertama yang tidak dapat memberikan pengetahuan ataupun pengakuan terhadap objeknya. Suatu tanda atau representamen menurut Peirce merupakan hal pertama yang tidak dapat  memberi pengetahuan atau pun tidak dapat dilakukan pengenalan objeknya, merupakan hal yang sangat mendasar. Tanda menghadirkan objeknya  sebagaimana halnya seorang  duta besar (ambassador) mewakili negerinya di luar negeri. Demikian pula halnya dengan tanda, objek menentukan tanda  dalam sebuah arti kata, namun tanpa meninggalkan ciri tanda itu sendiri (Deledalle, 2000: 138).
Landasan aksiologis tanda artinya setiap tanda mengandung konsekuensi nilai (kebenaran, keindahan, kebaikan, keadilan, kemanfaatan) sesuai dengan lingkup pemakaiannya. Persoalan nilai tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai nilai personal dan nilai sosial. Nilai personal menurut Lacey, merupakan sebuah bentuk dialektika antara berbagai produk dan kerangka acuan dari berbagai proses yang dengan itu manusia merefleksikan dan mengevaluasi keinginannya. Keinginan manusia pada umumnya bersifat personal. Nilai itu akan melibatkan kepercayaan yang mengacu pada pengalaman hidup seseorang (Lacey, 1999: 24). Tanda juga selalu terkait dengan nilai personal, karena penafsiran atas tanda dalam batas-batas tertentu turut dipengaruhi oleh keinginan seseorang. Nilai sosial diartikulasikan ke dalam sejarah tradisi masyarakat, penjelasan berbagai perkembangan institusi, dan retorika kepemimpinan. Nilai sosial disusun dalam masyarakat kemudian diperluas dan diwujudkan secara konstan dan konsisten, kalau pun terdapat kesenjangan, maka sedapat mungkin dipersempit (Lacey, 1999: 28).  Tanda itu sendiri hidup dan berkembang dalam nilai sosial, karena berbagai program hukum, kebijakan sosial dan negara melibatkan berbagai karakter tanda. Landasan aksiologis tanda dalam pemikiran Peirce diletakkan pada aspek praktis, karena Peirce sebagai salah seorang tokoh pragmatisme menekankan pada akibat praktis yang ditimbulkan.

2.   Konsep Triadis:  Representamen, Objek, dan Interpretan
Tanda atau representamen adalah sesuatu yang menempatkan seseorang atau sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Ketika tanda itu dialamatkan kepada seseorang, maka ia menciptakan dalam pikiran bahwa seseorang itu menjadi sebuah padanan tanda atau bahkan sebuah tanda yang lebih dikembangkan. Dengan demikian tanda atau representamen itu menciptakan interpretan berupa penafsiran yang berupaya memahami, menangkap, bahkan mengem-bangkan makna tanda secara lebih baik dan berkelanjutan. Tanda itu sendiri berarti sesuatu berupa objeknya, bukan dalam semua hal, tetapi mengacu pada sejenis gagasan yang dinamakan dasar (ground) dari representamen. Peirce mengemukakan tentang ground dalam pernyataan berikut:”The signs stands for something, its object. It stands for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea, which we have sometimes called the ground of the representamen” (Peirce, 1998, Volume 2: 135).

3.      Relasi Firstness, Secondness, Thirdness
Tingkat pemahaman dan keberlakuan tanda dalam pemikiran Peirce terkait dengan tingkat upaya manusia memahami dunia sekitarnya. Peirce meletakkan tingkat pemahaman itu ke dalam tiga tingkatan, yaitu kepertamaan (firstness), kekeduaan (secondness), dan keketigaan (thirdness). Kepertamaan adalah tingkat tanda yang dikenali pada tahap awal atau  secara prinsip saja, artinya, pemahaman dan keberlakuan tanda masih bersifat kemungkinan atau masih potensial. Kekeduaan (secondness) adalah tingkat pemahaman dan keberlakuan yang sudah /berhadapan dengan kenyataan atau pertemuan dengan dunia luar, namun tanda ini masih dimaknai secara individual. Keketigaan  (thirdness) adalah tingkat pemahaman dan keberlakuan yang sudah bersifat aturan atau hukum, yakni  sesuatu yang sudah berlaku umum, artinya pada tahap ketiga ini tanda dimaknai secara tetap sebagai suatu konvensi.

4.      Ikon, Indeks, dan simbol
Arthur Asa Berger menggambarkan relasi triadis antara ikon, indeks, dan simbol dalam pernyataan berikut:“Peirce said signs are related to objects by resembling them, being causally connected to them, or being  conventionally tied to them. He used the term iconic for resemblance, indexical for causal connection, and symbol for conventional association” (Berger, 1989: 12).
Contoh Ikon:
Ikon di kamar mandi


Contoh Indeks:


Contoh Simbol:

C.     Analisis Teori Arti Atas Semiotika Peirce

Teori arti dalam filsafat analitis yang meliputi teori acuan, teori ideasi dan teori tingkah laku dapat dipergunakan sebagai analisis atas konsep semiotika Peirce yang bersifat triadis. Teori acuan yang berasumsi bahwa setiap ungkapan bahasa memiliki acuan bersepadanan dengan pandangan Peirce bahwa setiap tanda mengacu pada objek tertentu. Ketika seseorang berpikir tentang tanda lalu-lintas, maka objek acuannya jelas antara lain, yaitu traffic light yang terdiri atas lampu warna merah, kuning, dan hijau. Teori ideasi yang berasumsi bahwa setiap ucapan itu terkait dengan ide yang menimbulkan atau ide yang ditimbulkan bersepadanan dengan konsep ground yang dikemukakan Peirce, yaitu gagasan atau ide yang terdapat dalam pemikiran seseorang tentang objek tanda tertentu. Representament sebagai bentuk tanda yang hadir dalam pikiran atau kesadaran seseorang merupakan salah satu bukti bahwa idea tau gagasan memainkan peran penting dalam pemikiran tentang tanda. Teori tingkah laku yang berasumsi bahwa setiap ungkapan bahasa dalam situasi yang sama dapat menimbulkan reaksi yang sama (stimulus dan respons), meskipun tidak secara tepat dikatakan demikian dalam konsep tanda Peirce, terletak dalam konteks situasi penafsiran, interpretant. Penafsiran merupakan suatu bentuk respons atas tanda yang muncul dalam kesadaran seseorang, meskipun penafsiran yang berbeda-beda dimungkinkan terjadi karena pemahaman seseorang dengan orang lain santa dipengaruhi banyak faktor seperti: latar belakang budaya, pengetahuan, minat, dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan analisis atas tanda yang dapat dilakukan melalui pemikiran para filsuf analitis.

D.     Relevansi Filsafat Tanda Dengan Budaya Kontemporer di Indonesia

Arthur Asa Berger sendiri ketika membicarakan tentang budaya kontemporer, banyak memberikan ilustrasi tentang budaya imajiner seperti: penggambaran secara verbal, impian, halusinasi, bayangan, dan berbagai tanda yang mengelabui (banci, wig, pengecatan rambut, pengisi BH) (Berger, 1989: 57-61). Dengan demikian budaya kontemporer mengacu pada tanda atau sesuatu yang terjadi dalam waktu kekinian sebagai sebuah gejala yang dapat diamati dewasa ini. Sebuah budaya kontemporer merupakan proses terbentuknya kebiasaan baru yang menjadi tren, gaya mutakhir. Relevansi filsafat tanda dengan budaya kontemporer meliputi hal-hal berikut.

1.      Hipertekstualitas
Laptop, komputer, jaringan internet sudah merupakan kebutuhan utama di kalangan intelektual, karena melalui sarana dan media itu mereka dapat mengekspresikan dan mengasah gagasannya, sehingga selalu muncul ide baru. Menurut Danesi (2010: 202), komputer telah memperkenalkan suatu bentuk tekstualitas yang dinamakan hipertekstualitas, yaitu sistem teks yang saling terkait, sehingga seorang pemakai komputer bisa berpindah dari satu teks ke teks lainnya. Dalam dunia internet perpindahan dari satu teks ke teks lainnya dimungkinkan dengan ditemukannya hyperlinks, yaitu bagian dari suatu dokumen yang bisa dihubungkan dengan dokumen-dokumen lain yang terkait. Hipertekstualitas menurut Danesi, memungkinkan seorang pengguna untuk berselancar melalui berbagai topik yang terkait tanpa melihat urutan tampilan topik (Danesi, 2010: 203).

2.      Hipersemiotika
Hipersemiotika digunakan untuk menjelaskan sebuah kecenderungan yang berkembang pada pemikir semiotika mutakhir seperti: Umberto Eco, Jean Baudriliard, Jacques Derrida. Beberapa prinsip yang terdapat dalam hipersemiotika antara lain: prinsip perubahan dan transformasi dalam hipersemiotika yang lebih menekankan pada perubahan tanda, produksi tanda; prinsip imanensi artinya hipersemiotika lebih menekankan sifat imanensi, permainan permukaan material; prinsip pembedaan (difference) artinya hipersemiotika lebih menekankan pembedaan daripada identitas, konvensi, dan kode sosial; prinsip permainan bahasa (language-games) artinya hipersemiotika menekankan permainan bahasa pada tingkat parole, event,  reinterpretasi tanda daripada langue, sistem, dan pembangunan ulang struktur; prinsip simulasi yaitu penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata (first reality), melainkan menjelma menjadi realitas kedua (second reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri (simulacrum of simulacrum (Yasraf Amir Piliang, 2003: 49-52).

3.      Hiperealitas
Hiperealitas artinya sesuatu yang melebihi realitas meliputi antara lain rekayasa makna dalam teori semiotika yang dinamakan Eco dengan teori kebohongan. Sebuah tanda menurut Eco, ialah segala sesuatu yang dapat dipakai untuk pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang lain, yang digantikan oleh tanda itu, tidak harus benar-benar eksis atau berada di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya. Berdasarkan hal yang demikian itulah Eco menyimpulkan bahwa semiotika secara prinsip merupakan disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Alasannya, jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebohongan, berarti ia juga tidak dapat dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran. Semiotics is in principle the discipline studying everything which can be used in order to lie. If something cannot be used to tell a lie, conversely it cannot be used to tell the truth: it cannot in fact be used  to tell at all” (Eco, 1976: 7).



4.      Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya merupakan fenomena kehidupan budaya kontemporer yang dipacu arus globalisasi. Globalisasi tidak hanya dipahami dalam lingkup ekonomi, namun merambah ke berbagai bidang kehidupan seperti: politik, budaya, teknologi, bahkan agama. Karena itu globalisasi menurut Samovar, terdiri atas tindakan atau proses yang melibatkan dunia dan berakibat luas dalam beragam sendi kehidupan masyarakat (Samovar, Cs, 2010: 3). Dalam kehidupan manusia moderen, banyak kosa kata yang hadir dan berkembang dalam kehidupan mereka seiring dengan penggunaan alat-alat teknologi moderen seperti: pulsa, fitur, unduh, dan lain-lain.
Komunikasi lintas budaya sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat global seperti sistem komunikasi digital menurut Danesi, memberikan layanan online berupa berita, papan buletin, jurnal, permainan, perpustakaan, surat elektronik (e-mail), facebook, twitter, dan berbagai macam sistem komunikasi yang semakin mendekatkan jarak antar manusia, antar budaya, antar negara (Danesi, 2010: 208).

5.      Pancasila sebagai Leading Principle
Kata Pancasila dalam perspektif pemikiran Peirce yang bersifat tersirat itu merupakan Firstness, artinya ia merupakan potensi. Sila-sila Pancasila yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 sudah merupakan Secondness, yaitu pernyataan yang benar-benar ada, tersurat sebagai dasar negara. Langkah berikutnya adalah penerapan nilai-nilai Pancasila itu dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, ini yang dinamakan Thirdness. Ketersiratan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 bukan merupakan kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan, ibarat nafas dalam seluruh sendi kehidupan manusia, ia tidak kelihatan tetapi eksistensinya memberi warna kehidupan yang nyata. Di sinilah letak kedudukan ideologi Pancasila sebagai Leading principle bagi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai leading principle paling tidak berisikan empat hal penting, yaitu: Pertama;  Pancasila sebagai hukum tersirat yang keberadaannya diakui masyarakat atau bangsa Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai prinsip moral yang mengarahkan bangsa Indonesia, sehingga Pancasila berperan sebagai way of life. Ketiga; Pancasila sebagai postulat awal yang dapat dijabarkan ke dalam kehidupan nyata bangsa Indonesia, sehingga Pancasila tidak sekadar diucapkan atau dituturkan, namun dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keempat; Pancasila berisikan gagasan umum yang bersifat universal, artinya nilai-nilai Pancasila itu bersifat mendunia, global, menyentuh wilayah yang luas, sehingga dapat dipergunakan dalam pergaulan internasional.

E.     KESIMPULAN

Pertama; landasan filosofis tanda  dalam pemikiran C.S.Peirce itu dapat ditinjau dari tiga dimensi filsofis, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis terkait dengan dimensi realitas yang terkandung di balik tanda. Dimensi epistemologis tanda terkait dengan kesadaran atas tanda yang ada di sekitar subjek sebagai realitas yang menimbulkan rasa ingin tahu sekaligus sebagai sumber informasi yang dapat memperkaya diri manusia.  Dimensi aksiologis tanda terkait dengan  keharusan normatif  bahwa setiap tanda mengandung konsekuensi nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, keadilan, kemanfaatan sesuai dengan lingkup pemakaiannya.  
Kedua;  landasan ontologis tanda dalam pemikiran Peirce terutama terlihat dalam konsep kontinyuitas yang menggiring pemikiran Peirce ke arah fallibilisme. Kontinyuitas dalam pemikiran Peirce mengacu pada kontinuum  sebagai potensialitas murni  yang merupakan bentuk fallibilisme. Landasan epistemologis tanda dalam pemikiran Peirce, terutama terlihat pada pandangannya tentang kemampuan manusia untuk menarik kesimpulan atas beberapa gejala (phaneroscopy) yang saling berkaitan satu sama lain. Kesadaran pengetahuan atas tanda berhubungan dengan kemampuan subjek dalam menarik kesimpulan atau logika. Landasan aksiologis tanda dalam pemikiran Peirce terletak pada segi kemanfaatan tanda bagi manusia, karena Peirce sebagai tokoh pragmatisisme menekankan pentingnya manusia untuk menentukan mana tindakan yang berarti yang perlu diambil. Manusia menurut Peirce, perlu mempertimbangkan akibat praktis yang menurut akal sehat terdapat dalam suatu objek.  
Ketiga; filsafat tanda C.S.Peirce ditinjau dari perspektif filsafat analitis memunculkan kajian-kajian yang relevan dengan budaya kontemporer, terutama terkait dengan tema-tema hipersemiotika, hiperealitas, hipertekstualitas, dan hiper-modernisme. Hipersemiotika artinya semiotika yang berlebihan, yakni lebih mengutamakan prinsip perubahan dan transformasi  dalam semiotika, sehingga  yang lebih dominan adalah  perubahan tanda, produksi tanda, dinamika pembiakan tanda. Hiperealitas artinya adanya rekayasa makna dalam kehidupan kontemporer, sehingga menguak teori kebohongan, sebab semiotika berurusan dengan segala sesuatu yang dapat dipakai untuk mengganti sesuatu yang lain secara signifikan, sehingga sesuatu yang digantikan oleh tanda itu, tidak harus benar-benar eksis. Hipertekstualitas artinya teks yang hadir dalam budaya moderen diwakili oleh dunia maya seperti internet yang menyajikan berbagai tanda-tanda baru yang bersifat universal, logis-rasional. Hukum universal baru muncul menggantikan hukum universal yang sudah usang seperti: ikon-ikon laptop, internet. Hipermodernisme artinya modernisme yang berlebihan sebagai kelanjutan dari modernisme dengan dominasi neo-liberalisme dan penguasaan sektor tekno-ekonomi  di segala bidang kehidupan manusia, sehingga individu tidak memiliki kekuatan untuk menolak kehadiran modernitas.
Keempat; relevansi pemikiran Peirce dengan kehidupan bernegara di Indonesia terletak pada ideologi Pancasila yang bersifat tersirat sebagai Firstness sebagai potensi, sedangkan sila-sila Pancasila merupakan Secondness, yaitu pernyataan yang tersurat sebagai dasar negara, dan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, ini yang dinamakan Thirdness. Ketiga hal tersebut mempertegas kedudukan ideologi Pancasila sebagai Leading principle bagi bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Ayer, A.J., 1952, Language, Truth, and Logic, Dover Publications, New Jersey.
Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Values, Albuquerque, New Mexico.
Berger, Arthur Asa., 1989, Signs in Contemporary Culture, Sheffield Publishing Company, Wisconsin.
Chandler, Daniel., 2002, Semiotics: The Basics, Routledge, London.
Danesi  M &P.  Perron, 1999, Analyzing Cultures, Indiana University Press, Indianapolis.
Deledalle, Gerard ; 2000. Charles Peirce’s Philosophy of Signs : Essays in
Comparative Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Eco, Umberto, 1979, Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Fairclough, Norman, 2007, “Critical Discourse Analysis as a Method in Social Sientific Research, dalam  Methods of Critical Discourse Analysis, Edited by: Ruth Wodak and Michael Meyer, Sage Publications, Los Angeles.
Gallie, W.B., 1952, Peirce and Pragmatism, Penguin Books, Harmondsworth-Middlesex.
Gellner, Ernest., 1992, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge, London.
Hassett, Joseph  D., Cs, 1968, Epistemology for All, The Mercier Press, Eight Printing, Cork.
Hoed, Benny H., 2008, Semiotis dan Dinamika Sosial Budaya, Penerbit Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Jakarta.
Kant, Immanuel, 2009, Critique of Pure Reason, Translated by J. M. D. Meiklejohn,  published by eBooks@Adelaide , Last updated Sat Aug 28 19:10:06 2010.
Kṏvecses, Zoltan., Language, Mind, and Culture, Oxford University Press, Oxford.
Lacey, Hugh, 1999, Is Science Value Free?, Routledge, London.
Littlejohn S.W. dan Foss K.A., 2009, Theories of Human Communication, Penerjemah: Mohammad Yusuf Hamdan (Teori Komunikasi), Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.
Lyotard, J.F., 1989, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester University Press, Manchester.
Martinet, Jeanne., 2010, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran, Judul asli: lefs Pour La Semiologie, Penerjemah: Stephanus Aswar Herwinarko, Jalasutra, Yogyakarta.
Martinich A.P. and David Sosa, 2001, Analytic Philosophy: An Anthology, Editor, Blackwell Publishers Ltd, Oxford.
Merrell, Floyd, 1991, Signs Becoming Signs, Indiana University Press, Bloomington & Indianapolis.
Moore, G.E., 1953, Some Main Problems of Philosophy, George Allen & Unwin Ltd, London.
Morris, Charles., 1950, Signs, Language And Behavior, Prentice-Hall, Inc., New York.
Murphy, Arthur E., 1951, “Epistemology and Metaphysics”, dalam The Philosophy of John Dewey, Edited by: Paul Arthur Schilpp, Tudor Publishing company, New York.
Mustansyir, Rizal., 2002, Filsafat Analitis: Sejarah Perkembangan, Pemikiran, dan Peran Para Tokohnya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peirce, C.S., 1998, Principles of Philosophy, Volume 1, Edited by: Charles Hartshorne and Paul Weiss, Colected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
--------------., 1998, Elements of Logic, Volume 2, Edited by Charles Hartshorne and Paul Weiss, Colected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
--------------., 1998, Exact Logic, Volume 3, Edited by Charles Hartshorne and Paul Weiss, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
……………, 1998, The Simplest Mathematics, Volume 4, Edited by Charles Hartshorne and Paul Weiss, Collected Papers of Charles Sanders Peirce,  Thoemmes Press, England.
---------------., 1998, Pragmatism and Pragmaticism, Volume 5, Edited by Charles Hartshorne and Paul Weiss, Colected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
……………, 1998, Scientific Metaphysics, Volume 6, Edited by Charles Hartshorne and Paul Weiss,  Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
……………, 1998, Science and Philosophy, Volume 7, Edited by Arthur W.Burks,  Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
---------------., 1998, Reviews, Correspondence, and Biblography, Volume 8, Edited by Arthur W. Burks, Colected Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes Press, England.
……………, 1878, How to Make Our Ideas Clear, in Popular Science Monthly, 12 January 1878.
Piliang, Yasraf Amir., 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta.
Samovar. Larry A, Cs, 2010, Communication Between Cultures, Penerjemah: Indri Margaretha Sidabalok (Komunikasi Lintas Budaya), Edisi 7, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.
Saussure, Ferdinand de., 1996, Pengantar Linguistik Umum, Penerjemah: Rahayu S. Hidayat, Judul asli: Cours de Linguistique Generale, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Savan, David.,  2003, Decision and Knowledge in Peirce, EBSCO Publishing, Toronto.
Snijders, Adelbert., 2006, Manusia dan Kebenaran, Cetakan ke-5, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Solomon, Jack, 1988, The Signs of Our Time, Jeremy P.Tarcher, Inc., Los Angeles.
Sudjiman Panuti dan van Zoest., 1992, Serba-Serbi Semiotika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
White, Alan R., 1987,  Methods of Metaphysics,  Croom Helm Ltd, New York.
Wiener, Philip P., 1958, Charles s. Peirce Selected Writings (Values in a Universe of Chance), General Publishing Company, Ltd., Ontario, Canada.
Wittgenstein, L,1983, Philosophical Investigations, Translated by: G.E.M.Anscombe, Third edition, Basil Blackwell, Oxford.
………………..,1995, Tractatus, Logico-Philosophicus, German text with an English Translation by: C.K. Ogden, Ninth Edition, Routledge and Kegan Paul Ltd, London.
Yolton, John W., 1965, Theory of Knowledge, The Macmillan Company, New York.
Yudi Latif., 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Zoest, Art van., 1991, “Refleksi Atas Semiotis”, dalam Jurnal Filsafat, thn 1 no.1, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar